Kamis 06 Jul 2017 06:00 WIB

Obama dan Harmoni Indonesia

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Ketika jutaan kaum Muslimin Indonesia melakukan prosesi mudik menjelang Lebaran (23/6/17), ketika itu pulalah Presiden ke-44 Amerika Serikat Barack Obama dengan istrinya Michele dan kedua putrinya berlibur ke Indonesia. Mengunjungi sejumlah objek wisata dan melihat langsung kehidupan di persawahan dan lokasi-lokasi lain di Bali dan Yogyakarta. Bisa dipastikan, Obama dan keluarganya juga menyaksikan keramaian Lebaran di Indonesia.

Obama akhir pekan lalu (30/6/17) datang ke Jakarta. Di kota ini, tepatnya di kawasan Tebet dan Menteng, sebagai anak kecil dia pernah beberapa tahun menempuh pendidikan dasar. Karena itu sering orang Indonesia atau Amerika yang berseloroh tentang ‘kehebatan’ pendidikan dasar Indonesia yang berhasil menghasilkan peserta didik yang kemudian menjadi Presiden Amerika.

Barack Obama mengakhiri kunjungannya di Indonesia dengan menyampaikan orasi kunci dalam Konperensi Diaspora Indonesia keempat (1/7/17). Berbicara tentang demokrasi, toleransi dan globalisasi, Obama sekali lagi memberikan gesture tentang pentingnya harmoni antar-warga baik di tingkat nasional maupun internasional di tengah berbagai perubahan dan tantangan yang tidak selalu kondusif.

Seperti dilaporkan media massa cetak dan elektronik secara luas, Obama kelihatan sangat menikmati kunjungan di Indonesia. Kunjungan Obama sekaligus juga menjadi semacam endorsement bagi para pelancong mancanegara untuk semakin banyak mengunjungi Indonesia; bahwa negara maritim terbesar di dunia ini aman-aman saja. Pemerintah Indonesia menargetkan jumlah pelancong untuk 2017 ini bisa mencapai sekitar 15 juta.

 

Keadaan seperti kontras dengan beberapa negara mayoritas Muslim seperti Mesir dan Tunisia yang mengalami penurunan drastis dalam jumlah wisatawan. Padahal negara-negara ini secara ekonomi sangat tergantung pada parawisata. Keadaan ini terkait dengan masih terjadinya konflik dan kekerasan di negara-negara tersebut. Keadaan tidak kondusif ini pula yang menyebabkan kenapa transisi negara-negara Arab tersebut ke dalam demokrasi berjalan dengan susah payah; dan bahkan sudah sampai pada tahap kegagalan.

Stabilitas keamanan Indonesia menciptakan keadaan lebih kondusif baik secara politik, ekonomi, sosial-budaya dan agama. Keadaan ini disebut Obama sebagai ‘harmoni’ sebagai hasil dari toleransi para warganya Dalam kunjungan ke Candi Borobudur dan Prambanan, dia menyaksikan harmoni itu dalam monumen historis Budha dan Hindu ini bisa tetap eksis di tengah masyarakat mayoritas Muslim.

Keadaan ini tak bisa lain terkait dengan toleransi kaum Muslim Indonesia pada warisan budaya masa silam—meski itu berasal dari tradisi agama lain. Proses penyebaran dan pengembangan Islam yang akomodatif terhadap budaya lokal memungkinkan kaum Muslimin negeri ini memberi apresiasi dan sekaligus melindungi warisan kekayaan budaya yang telah diwariskan selama berabad-abad.

Obama mengakui toleransi kaum Muslimin Indonesia; dia sendiri mengalaminya langsung di masa kecilnya di Indonesia. Kenyataan ini kemudian diakui Obama sejak masa-masa awal kepresidenannya seperti dia nyatakan dalam ceramahnya di Istanbul, Kairo dan Jakarta. Obama berulang kali menegaskan dan memberikan gesture rekonsiliatif kepada kaum Muslimin dan Islam.

Menyaksikan dan mengalami kembali harmoni Indonesia dalam kunjungannya kali ini, Obama memiliki posisi sangat baik untuk meneguhkan toleransi dan harmoni di Amerika yang pernah dia pimpin. Indonesia dan Amerika seperti sering dikemukakan Obama sendiri memiliki prinsip yang sama: Indonesia dengan Bhinneka Tunggal Ika dan Amerika dengan E Pluribus Unum—beragam dalam kesatuan.

Prinsip E Pluribus Unum jelas sangat terganggu dengan bangkitnya populisme Amerika yang mengantarkan Donald Trump menjadi presiden. Di Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika juga terganggu dengan masih berkeliarannya orang atau kelompok yang tidak toleran terhadap warga yang berbeda pandangan politik dan aliran keagamaan dengan mereka.

Harmoni antarwarga dan antarkomunitas di Amerika sekali lagi sangat terganggu sejak masa kampanye Pilpres dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Sering mengeluarkan pernyataan tidak bersahabat dengan kaum Muslim dan Islam, Trump mengambil sejumlah kebijakan yang tidak menyenangkan seperti pencekalan masuknya warga Muslim dari enam negara Muslim.

Perintah eksekutif (executive order) yang dikeluarkan Presiden Trump, yang semula ditantang Pengadilan, kini bisa diterima Mahkamah Agung, meski dengan sejumlah catatan. Akibatnya, kekacauan kembali melanda sejumlah bandara internasional di AS; dan demonstrasi menentang kebijakan itu kembali marak walau dalam skala lebih kecil.

Mengamati perkembangan di Amerika ini, meski bukan lagi presiden, Obama tetap dapat memainkan perannya untuk memperbaiki keadaan yang tidak menyenangkan bagi warga Muslim. Kenyataan bahwa mayoritas pemilih memberikan suara kepada Capres Hillary Clinton—bukan kepada Donal Trump yang hanya memenangkan ‘Electoral College’—memberikan peluang bagi Obama untuk mendapat dukungan besar dalam upaya memperbaiki keadaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement