Rabu 10 May 2017 05:04 WIB

Exit Strategy: Belajarlah pada McArthur dan Nasution

Pasukan Siliwangi hijrah ke Yogyakarta pada perang kemerdekaan.
Foto:
Massa pro Ahok gelar aksi menyalakan lilin di depan LP Cipinang, Jakarta Timur, Selasa (9/5).

Mundur selangkah, mengalah, dan menyerang balik kerap dipakai sebagai strategi jitu di ranah politik. Kalau kita membaca kitab klasik Mahabarata, kita tentu ingat bagaimana exit strategy yang dilakukan oleh seorang Sengkuni.

Tak bisa merebut Indraprasta dengan kesaktian senjata, Sengkuni melancarkan exit strategy dengan strategi bermain dadu. Pandawa akhirnya bisa diasingkan selama puluhan tahun dan negaranya berhasil dikuasai.

Di ranah politik Indonesia memang kondisinya berbeda dengan perang Baratayuda atau perang dunia. Tapi efek yang ditimbulkan amat besar. Ini utamanya jika kita berbicara perseteruan pada Pilkada DKI 2017.

Kekalahan Ahok maupun kasus hukumnya membuat Jokowi, PDI Perjuangan, dan koalisinya terkena dampak besar. Saya tak ingin membahas dampak dari segi finansial, melainkan dari sisi politik. Akibat kasus ini citra Jokowi seperti tersandera Ahok.

Konsekuensinya kekuatan politik Jokowi dan pendukungnya tereduksi. Sebaliknya, kubu opsisi seperti PKS dan Gerindra mendapat momentum besar.

Selain Ahok adalah eks partner sekaligus pengganti Jokowi di DKI, pria asal Bangka itu juga memakai kendaraan politik yang sama dengan sang presiden. Sehingga jadi konsekuensi logis jikalau Ahok jadi representasi Jokowi dalam tataran yang lebih kecil.

Sehingga kekalahannya dalam pilkada DKI maupun kasus hukumnya memukul Jokowi secara politik. Banyak kalangan yang dahulu memilih Jokowi kini mulai antipati akibat munculnya kasus Ahok ke permukaan.

Sehingga hal ini mengancam posisi Jokowi, PDI Perjuangan, dan sejumlah partai pendukungnya menjelang Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019.

Efek Ahok juga bisa terlihat dari kekalahan PDIP pada mayoritas pemilihan gubernur serentak 2017. Tak hanya di DKI, PDIP harus tumbang di Banten, Gorontalo, dan Bangka Belitung.

Karena itu logis jikalau Jokowi dan kekuatan pendukungnya menimang langkah untuk menyelamatkan diri. Sebab kasus Ahok mengunci posisi mereka jelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019. Kasus yang secara tak langsung menguntungkan posisi oposisi.

Selama kasus Ahok menggantung, isu soal penistaan agama akan selalu muncul dan jadi senjata yang memukul Jokowi dan pendukungnya di 2018 dan 2019.

Namun kini bola berbalik arah setelah ketukan palu hakim memvonis Ahok hukuman 2 tahun penjara. Entah kebetulan atau tidak, vonis ini seakan jadi bentuk exit strategy Jokowi untuk menyelamatkan energi politiknya yang terkuras jelang pilpres 2019. Peta politik pun bisa jadi berubah.

Tapi ini juga bisa jadi langkah awal untuk menyusun strategi memukul balik. Bukan tak mungkin leapfrogging sedang dirancang. Ahok yang jadi representasi mungkin tak bisa diselamatkan. Tapi ini juga bisa jadi persiapan untuk kekuatan yang dianggap sebagai pengadang.

Apa pun itu menarik untuk ditunggu. Sebab tokoh yang selama ini dianggap sebagai 'oposan' yang mengawal kasus Ahok juga memiliki kasus hukum yang sedang berjalan. Bersamaan dengan kasus Ahok, ada juga kasus Buni Yani, Habib Rizieq, dan Bachtiar Nasir.

Saya tak mau terburu-buru mengaitkan rangkaian kasus itu satu demi satu. Kita hanya bisa menunggu, apakah vonis Ahok justru bukan menjadi akhir dari segalanya. Atau justru ini sekadar exit strategy guna menyelamatkan posisi politik yang lemah guna kemudian menyerang balik.

Semoga kasus hukum bergulir wajar apa adanya. Adanya vonis terhadap Ahok mesti dihargai sebagai itikad baik negara dalam menegakkan supremasinya.

Semoga segala penegakkan hukum menjadi cara bangsa ini untuk keluar dari masalah, bukan justru merupakan bentuk exit strategy dari para politisi.

 

*Sammy Abdullah, Jurnalis Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement