REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, mengatakan pemerintah pusat masih dapat mengendalikan keluarnya peraturan daerah (perda) pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan pembatalan aturan kewenangan Mendagri untuk membatalkan Perda. Pengendalian perda tersebut berdasarkan ketentuan dalam Pasal 243 UU 23 Tahun 2014.
"Sesuai putusan MK, maka Kemendagri dapat memanfaatkan batas waktu tujuh hari untuk membuat permendagri. Batas waktu itu dihitung sejak rancangan perda (raperda) dinyatakan lengkap formil dan lengkap materiil oleh Kemendagri," ujar Tjahjo dalam keterangan tertulisnya, Jumat (7/4).
Mekanisme ini, katanya, sesuai aturan dalam pasal 243 UU Nomor 23 Tahun 2014. Dengan mekanisme ini, Kemendagri dapat mengontrol penerbitan perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi. "Lewat mekanisme itu, Kemendagri sudah sejak dini dapat mengetahui kelemahan-kelemahan dalam perda yang akan dibatalkan. Memang pasal 251 sebagai post control sudah dibatalkan oleh MK. Namun, masih ada ketentuan pra control yang masih bisa digunakan," tambah Tjahjo.
Sebelumnya, Pada Rabu (5/4), majelis hakim MK memutuskan membatalkan aturan kewenangan Mendagri untuk membatalkan perda. Putusan itu menyusul gugatan yang dilayangkan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi).
Apkasi menggugat pasal 251 ayat 1 UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam pasal ini disebutkan bahwa "Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri".
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono, pada Kamis (6/4), mengatakan mekanisme pembatalan peraturan daerah (perda) kini hanya dapat dilakukan melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung (MA). Dengan demikian, maka gubernur kini tidak bisa membatalkan perda kabupaten/kota melalui keputusan gubernur.