REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandupraja menilai meski nama-nama dalam surat dakwaan kasus KTP elektronik (KTP-el) itu sudah memiliki dua alat bukti, bukan berarti nama-nama tersebut bisa langsung ditetapkan sebagai tersangka.
"Dua alat bukti itu memang betul jadi syarat untuk menjadikan tersangka, tapi, di mana posisi alat bukti itu kan juga mesti jelas. Kapan, di mana dan siapa, mesti jelas," ujarnya dalam diskusi di Menteng, Jakarta, Sabtu (11/3).
Menurut Adnan, pekerjaan memastikan alat bukti tersebut tentu tidaklah mudah. KPK harus membuat rangkaian peristiwa hingga menjadi satu-kesatuan yang utuh. Pekerjaan ini pun butuh waktu yang lama.
"Itu pekerjaan enggak gampang untuk membuat alur ceritanya hingga menjadi sebuah 'novel' sendiri, proses ini yang panjang," katanya
Dalam konteks demikian, Adnan tidak menampik KPK sebetulnya bisa membuka penyidikan baru terkait calon tersangka kasus KTP-el sebelum ada putusan inkrah. Namun, kendala yang dihadapi KPK saat ini, yakni jumlah personil. Apalagi, kasus yang ditangani di KPK begitu banyak.
"KPK kan punya banyak kasus lain hingga akhirnya KPK juga mesti berbagi personil. (Kendala) Ini pasti erat kaitannya dengan SDM KPK," katanya. Karena itu, Adnan juga mengamini bahwa personil di KPK memang harus ditambah dan secara tidak langsung juga butuh anggaran.
"Iya, butuh anggaran juga memang," ucapnya.
Sebelumnya, Jaksa KPK dalam kasus KTP-el, Irene Putri, mengatakan memang ada keterlibatan dari sejumlah nama yang disebut dalam surat dakwaan. Ia menegaskan, keterlibatan nama-nama itu sudah melalui konfirmasi dengan minimal dua alat bukti.
"Iya pasti. Tiap kalimat dalam surat dakwaan kita sudah konfirmasi dengan minimal dua alat bukti," ujarnya.