REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR RI, Arteria Dahlan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berhenti pada dua pejabat Kementerian Dalam Negeri yang saat ini menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP berbasis elektronik (KTP-el). Hal ini karena, ia meyakini kedua terdakwa tersebut bukanlah aktor utama dalam kasus tersebut.
Apalagi kata Arteria, dalam dakwaan kasus tertera nama-nama besar yang diduga ikut terlibat dalam kasus korupsi yang merugikan negara senilai Rp2,3 Triliun tersebut.
"Kalau kita lihat dari surat dakwaan tidak mungkin di Kemendagri disiplin tinggi tidak ada anak buah manuver sendiri, artinya sepengetahuan pimpinan. Level dirjen pengawasnya inspektorat dan menteri, jadi kalau menterinya tidak tahu bohong besar," ujar Arteria yang ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (11/3).
Karenanya, politikus PDIP itu meminta KPK juga memproses mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi yang menjabat pada Mendagri pada saat itu. Ia meyakini, proyek yang merugikan negara senilai triliunan rupiah tersebut mustahil tanpa sepengetahuan Mendagri.
"Terdakwa satu dan dua ingin memposisikan diri bahwa dia bukan utama, tapi ada bosnya, (KPK) bawa dong Gamawan, terbuka ini semua, gampang sekali, bisa tidak sebelum penuntutan nama Gamawan dimasukkan dulu, pada nyanyi semua, minimal ditahan sebagai tersangka," katanya.
Hal ini diungkapkannya agar terang segala persoalan berkaitan kasus KTP-el, termasuk nama-nama yang disebut dalam dakwaan. Ia pun minta agar KPK membuktikan nama-nama tersebut apakah terkait atau tidak dalam kasus KTP-el tersebut.
"Saya berharap ini bisa diungkap segera pertengahan tahun ini bisa tuntas," ucapnya.
Adapun untuk nama-nama yang disebut, khususnya kader dari PDIP, Arteria mengungkap PDIP tegas untuk tidak memberikan ruang bagi kadernya korupsi. Namun hal ini jika memang kadernya terbukti memang melakukan korupsi.
"PDIP kita tegas kok, anti sama korupsi, siapapun kita proses, Ketum katakan tidak ada ruang bagi koruptor dan kita PDIP mendukung penuh KPK, walau kita ada juga yang disebut, ada asas praduga tak bersalah, tapi yang salah harus diimintai pertanggungjawabannya," tegasnya.
Seperti diketahui, sidang pembacaan dakwaan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP digelar Kamis (9/3) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk dua terdakwa mantan pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiharto. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, dalam dakwaan terungkap nama-nama besar yang diduga ikut menerima aliran uang korupsi sekitar Rp2,3 Triliun.
Dalam dakwaan, Jaksa mengungkap total proyek senilai Rp5,9 Triliun yang disepakati berdasarkan beberapa pertemuan antara Andi Agustinus alias Andi Narogong dengan pejabat Kementerian Dalam Negeri, dan petinggi sejumlah partai penguasa saat itu yakni Setya Novanto dari Partai Golkar, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin dari Partai Demokrat.
Dari total Rp5,9 Triliun tersebut, 51 persen atau senilai Rp2,6 Triliun akan digunakan untuk belanja modal proyek, sementara sisanya 49 persen atau Rp2,5 Triliun untuk dibagikan kepada beberapa pejabat di Kemendagri dan puluhan anggota DPR RI periode 2009-2014.
Dari anggota DPR RI diantaranya Setya Novanto, Anas Urbaningrum, Melcias Marchus Mekeng, Olly Dondokambey, Tamsil Lindrung, Mirwan Amir, Arief Wibowo, Ganjar Pranowo, Teguh Djuwarno, Taufik Effendi, Agun Gunandjar, Chaeruman Harahap, Khatibul Umam, Mustoko Weni, Ignatius Mulyono, Miryam S Haryani, Rindoko, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, dan Jazuli Juwaini, Markus Nari, Yasonna Laoly, Jafar Hapsah, Ade Komarudin, Marzuki Ali.