REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua DPR RI, Marzuki Ali menegaskan, dirinya tidak pernah menerima dana dari proyek pengadaan KTP berbasis elektronik (KTP-el) sebesar Rp 20 miliar. Tudingan itu muncul dalam dakwaan perkara kasus dugaan korupsi KTP-el yang dibacakan pada Kamis (9/3), lalu.
Marzuki menyebut, ada pihak yang mencatut namanya sehingga muncul dalam dakwaan tersebut. Padahal, ia merasa sama sekali tidak terlibat atau menerima apapun dari proyek KTP-el. "Kalau ditanya seberapa yakin, 100 persen saya yakin, makanya saya melaporkan ke Bareskrim," ujar Marzuki saat hadir dalam diskusi bertajuk 'Samber Gledek e-KTP' di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (11/3).
Ia mengaku, tidak pernah terlibat mulai dari perencanaan, penganggaran, hingga pelaksanaan proyek KTP-el pada saat itu, kendati saat proyek dibahas ia menjabat Ketua DPR RI. Dikatakan Marzuki, meski Ketua DPR saat itu, namun ia tidak pernah 'cawe-cawe' dalam proyek yang ada di DPR.
Ia mengatakan, segala proyek dikerjakan langsung oleh komisi-komisi di DPR dan mitranya. Terkecuali, jika dalam proyek-proyek itu bermasalah, barulah mendapat perhatian khusus pimpinan DPR.
Pun halnya, proyek KTP-el saat itu yang ia nilai tidak bermasalah sehingga tidak menjadi perhatian pimpinan DPR. "Misalnya deadlock antara komisi dengan pemerintah, lapor ke pimpinan lalu diambil alih, dipanggil menteri dan komisinya dicari solusinya. Nah program KTP-el waktu itu nggak dapat perhatian, karena nggak ada masalah waktu itu," ujarnya.
Karenanya, ia pun tidak ikut mengurusi segala hal yang berhubungan dengan KTP-el. Menurutnya, untuk pengawasan pun menjadi tugas dan tanggung jawab komisi DPR secara langsung. "Banyak kasus yang sampai ke pimpinan, tapi yang nggak sampai ke pimpinan ya kita juga nggak cari-cari, karena bukan kapasitas kita mencari-cari karna sudah ada koordinatornya. Makanya saya yakin dan percaya tidak mungkin nama saya disebut, saya kaget makanya," katanya.
Dalam dakwaan kasus dugaan korupsi proyek KTP-el di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terungkap nama-nama besar yang diduga ikut menerima aliran uang korupsi sekitar Rp 2,3 triliun. Jaksa mengungkap total proyek senilai Rp 5,9 triliun yang disepakati berdasarkan beberapa pertemuan antara Andi Agustinus alias Andi Narogong dengan pejabat Kementerian Dalam Negeri, dan petinggi sejumlah partai penguasa saat itu, yakni Setya Novanto dari Partai Golkar, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin dari Partai Demokrat.
Dari total Rp 5,9 triliun tersebut, 51 persen atau senilai Rp 2,6 triliun akan digunakan untuk belanja modal proyek. Sementara sisanya 49 persen atau Rp 2,5 triliun untuk dibagikan kepada beberapa pejabat di Kemendagri dan puluhan anggota DPR RI periode 2009-2014.
Dari anggota DPR RI, di antaranya Setya Novanto, Anas Urbaningrum, Melcias Marchus Mekeng, Olly Dondokambey, Tamsil Lindrung, Mirwan Amir, Arief Wibowo, Ganjar Pranowo, Teguh Djuwarno, Taufik Effendi, Agun Gunandjar, Chaeruman Harahap, Khatibul Umam, Mustoko Weni, Ignatius Mulyono, Miryam S Haryani, Rindoko, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, dan Jazuli Juwaini, Markus Nari, Yasonna Laoly, Jafar Hapsah, Ade Komarudin, dan Marzuki Ali.