REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Baharuddin Thahir menilai relasi kekuasaan sangat nampak dalam proyek pengadaan KTP berbasis elektronik (KTP-el) yang kini tersandung masalah korupsi. Sebab, dalam proyek tersebut begitu terstruktur dan lengkap, mulai dari pembuat kebijakan, pengusaha, legislatif yang kemudian juga diduga terlibat korupsi.
"Jadi saya ingin mengatakan, bahwa kasus KTP-el ini sangat lengkap. Mulai pembuat kebijakan, ada pengusahanya, juga ada DPR," ujar Baharuddin saat menghadiri diskusi bertajuk "Samber Gledek e-KTP di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (11/3).
Menurutnya, relasi kekuasaan yang begitu lengkap tersebut membuat proyek KTP-el jalan terus, meski banyak pihak yang saat itu menentang proyek tersebut dilanjutkan. Hal ini, kata dia, bukan tanpa sebab, karena sejak awal mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan bermasalah.
"Disinilah kita lihat ada relasi kekuasaan. Ini kan 2011 e-KTP mulai dimunculkan sudah keliatan akan bermasalah," kata Baharuddin.
Menurutnya, tidak mungkin proyek dengan nilai besar Rp 5,9 triliun tersebut dan diperuntukan untuk seluruh penduduk Indonesia dikerjakan dalam waktu singkat. Ia pun menilai proyek tersebut memang sudah sejak awal dipaksakan.
"Kenapa terus berjalan? Berarti ada sesuatu yang strategis. Jadi yang tahu persisnya kita harus lihat atau tanya yang tanda tangan di situ. Aura ini bermasalah sudah terbaca dari sebelumnya. Jadi nggak kaget," katanya.
Diketahui, sidang pembacaan dakwaan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP-el digelar pada Kamis (9/3) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk dua terdakwa mantan pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiharto. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, dalam dakwaan terungkap nama-nama besar yang diduga ikut menerima aliran uang korupsi sekitar Rp2,3 Triliun.
Dalam dakwaan, Jaksa mengungkap total proyek senilai Rp 5,9 triliun yang disepakati berdasarkan beberapa pertemuan antara Andi Agustinus alias Andi Narogong dengan pejabat Kementerian Dalam Negeri, dan petinggi sejumlah partai penguasa saat itu, yakni Setya Novanto dari Partai Golkar, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin dari Partai Demokrat.
Dari total Rp 5,9 triliun tersebut, 51 persen atau senilai Rp 2,6 triliun akan digunakan untuk belanja modal proyek, sementara sisanya 49 persen atau Rp 2,5 triliun untuk dibagikan kepada beberapa pejabat di Kemendagri dan puluhan anggota DPR RI periode 2009-2014.
Dari anggota DPR RI di antaranya Setya Novanto, Anas Urbaningrum, Melcias Marchus Mekeng, Olly Dondokambey, Tamsil Lindrung, Mirwan Amir, Arief Wibowo, Ganjar Pranowo, Teguh Djuwarno, Taufik Effendi, Agun Gunandjar, Chaeruman Harahap, Khatibul Umam, Mustoko Weni, Ignatius Mulyono, Miryam S Haryani, Rindoko, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, dan Jazuli Juwaini, Markus Nari, Yasonna Laoly, Jafar Hapsah, Ade Komarudin, dan Marzuki Ali.