Sabtu 11 Mar 2017 03:30 WIB

AJI Protes Larangan Siaran Langsung Sidang Korupsi KTP-El

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Reiny Dwinanda
Mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman (kiri) dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Dukcapil Kemendagri Sugiharto (kedua kanan) menjalani sidang perdana kasus dugaan korupsi KTP elektronik (KTP-el) di Pengadilan Tipikor, Jaka
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman (kiri) dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Dukcapil Kemendagri Sugiharto (kedua kanan) menjalani sidang perdana kasus dugaan korupsi KTP elektronik (KTP-el) di Pengadilan Tipikor, Jaka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan protes terhadap keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang membawahi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, YANG melarang siaran langsung dalam sidang kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektornik (KTP-el) yang digelar Kamis (9/3) lalu. AJI memandang tidak ada urgensi bagi pengadilan untuk melarang siaran langsung dalam persidangan kasus ini. "Sebaiknya media diberi akses siaran langsung secara terbatas," kata Ketua Umum AJI Suwarjono melalui siaran persnya, Jumat, (10/3).

Keputusan melarang siaran langsung dalam sidang kasus KTP-el itu disampaikan oleh Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Yohanes Priyana, Rabu (8/3) silam. Menurut Yohanes, keputusan ini diambil setelah berkaca dari persidangan kasus lain sebelumnya yang disiarkan secara langsung. Alasan lainnya, pengertian sidang terbuka untuk umum adalah sidangnya bisa dihadiri publik secara langsung, tapi tak berarti sidangnya yang hadir ke depan publik melalui siaran langsung.

AJI menghormati keputusan hakim sesuai kewenangan untuk memutuskan persidangan boleh diliput secara langsung atau tidak. Akan tetapi, AJI akan mempertanyakan andaikan keseluruhan persidangan dilarang untuk diliput secara langsung. 

Menurut Suwarjono, persidangan kasus KTP-el ini menjadi perhatian besar publik karena berdampak pada kebutuhan orang banyak dan menyangkut dana negara yang sangat besar. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi, dugaan korupsi dalam proyek senilai Rp 5,9 triliun ini sekitar Rp 2,3 triliun. Selain itu, ada nama-nama tokoh penting yang diduga terlibat dalam kejahatan korupsi ini. "Sangat beralasan jika publik ingin mengetahuinya secara langsung tanpa harus datang ke pengadilan."

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Iman D Nugroho mengatakan siaran langsung memang bisa saja mempengaruhi orang-orang yang akan memberikan kesaksian. Untuk mengatasi masalah itu, pengadilan bisa mengeluarkan kebijakan siaran langsung hanya untuk sidang dengan agenda pembacaan dakwaan, pembelaan, tuntutan dan putusan. Kebijakan seperti itu tak berlaku saat sidang yang agendanya pemeriksaan saksi. “Kebijakan membolehkan siaran live secara terbatas ini bisa menjadi alternatif agar pers tak merasa dibatasi dalam tugasnya, dan kepentingan pengadilan juga tetap terjaga,” ujar Iman.

Namun demikian, Iman mengingatkan media elektronik yang menyiarkan langsung tetap menjaga kode etik jurnalistik, termasuk tak membuat ada sidang di luar persidangan. AJI menegaskan siaran langsung merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi pers yang diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Pasal 3 Undang Undang Pers menyatakan, “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.” "Dalam kasus KTP-el, siaran langsung merupakan bagian dari fungsi kontrol sosial media agar pengadilan berjalan obyektif dan adil dalam mengusut kasus mega korupsi ini."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement