Selasa 15 Nov 2016 18:37 WIB

'Pemerintah dan Ulama Harus Mantapkan Deradikalisasi'

Tim Laboratorim Forensik Mabes Polri melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di lokasi ledakan di Gereja Oikumene, Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (14/11).
Foto: Antara/Amirullah
Tim Laboratorim Forensik Mabes Polri melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di lokasi ledakan di Gereja Oikumene, Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (14/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dan ulama wajib memantapkan sinergi dalam menjalankan program pencegahan terorisme, khususnya deradikalisasi demi menciptakan Indonesia damai. Langkah itu adalah bagian tidak terpisahkan dalam membangun masyarakat yang bersih dari ajaran sesat kelompok radikal.

 Pernyataan ini diungkapkan oleh Guru Besar Sosiologi Politik FISIP UI Prof Iwan Gardono Sujatmiko menanggapi kembali terjadinya aksi terorisme yang dilakukan mantan napi terorisme kasus bom buku, Juhanda di Samarinda, Ahad (13/11). Aksi teror dengan bom molotov itu di Gereja Oikumene itu kembali merusak suasana kedamaian di Bumi Pertiwi. Apalagi korban dari teror itu adalah anak-anak kecil.

 “Aksi ini bukan karena program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini BNPT, gagal. Tapi ini karena memang saat ini penanganan masalah mantan teroris masih belum maksimal karena ini butuh sinergi dari berbagai pihak. Utamanya ulama dan masyarakat yang harus lebih pro aktif membantu pemerintah menjalankan program pencegahan terorisme mulai dari tingkat paling bawah,” ungkap Prof Iwan Gardono di Jakarta, Selasa (15/11).

Menurut Iwan, secara spesifik dalam program deradikalisasi itu ada reintegrasi sehingga harus diperkuat dengan landasan hukum karena itu menyangkut ideologi. Dan itu harus dilakukan oleh komunitas muslim, dalam hal ini adalah ulama dan tokoh masyarakat yang pemahaman agamanya sudah mumpuni. Dengan demikian, pemerintah tugasnya sebagai koordinator dan monitoring program tersebut. 

 Di masyarakat modern sekarang ini, lanjut Iwan Gardono, jaringan kelompok antagonis lebih kuat dibandingkan jaringan protagonis. Itu akibat kurangnya komunikasi antara pemerintah dan ulama dalam menyebarkan program-program pencegahan terorisme. Untuk melakukan ini, pemerintah bisa menggandeng NU dan Muhammadiyah untuk bersama melakukan deradikalisasi, terutama bagi mantan napi yang sudah kembali ke masyarakat. 

 “Yang penting program deradikalisasi terus dikembangkan dan disertai peningkatan program reintegrasi dari komunitas agar mereka tidak masuk jaringan teror lagi seperti tersangka teror Samarinda kemarin,” tegas Iwan.

 Terlepas dari itu, ungkap Iwan Gardono, persatuan dan kebhinekaan penting terus dipelihara dan diperkuat untuk menciptakan kedamaian dalam lingkup NKRI. Dengan begitu akan mendukung rasa aman publik dalam bekerja dan anak-anak bersekolah, sehingga mereka tidak akan ‘nyasar’ masuk dalam kelompok radikal.

Hal senada diungkapkan Ketua Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof Ahmad Satori Ismail. Menurutnya aksi terorisme bukanlah ajaran islam. 

“Islam adalah agama yang mengajarkan kelembutan, cinta kasih, dan persaudaraan. Dalam Islam tidak ada sama sekali ajaran untuk merusak, meneror, apalagi membunuh sesama manusia,” tegas Ahmad Satori.

Menurutnya, sejak dulu warisan Islam itu adalah kelembutan dan kasih sayang sesama manusia. Salah satu contoh Islam menyuruh umatnya berdakwah secara hikmat dan memberi nasihat dengan cara yang baik dan lembut. Bahkan untuk setiap masalah yang terjadi, Islam menyarankan dilakukan dialog tanpa menyakiti 

"Jadi tidak ada hubungannya antara Islam dan dengan aksi-aksi terorisme yang terjadi akhir-akhir ini. Mereka tidak paham makna sebenarnya Islam yang mengajarkan kelembutan, kedamaian dan rahmatan lil alamin. Itulah inti ajaran Islam," terang Ahmad Satori.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement