Rabu 20 Jul 2016 20:48 WIB

RS Harapan Bunda Diminta tak Diskriminatif Tangani Korban Vaksin Palsu

Rep: Ahmad Islamy Djamil/ Red: Achmad Syalaby
Aliansi Orang Tua Korban Vaksin Palsu bersama KontraS dan YLBHI  menggelar aksi solidaritas di RS Harapan Bunda, Jakarta, Rabu (20/7).Republika/Wihdan Hidayat
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Aliansi Orang Tua Korban Vaksin Palsu bersama KontraS dan YLBHI menggelar aksi solidaritas di RS Harapan Bunda, Jakarta, Rabu (20/7).Republika/Wihdan Hidayat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puluhan keluarga pasien RS Harapan Bunda, Jakarta Timur, kembali mendesak pemerintah dan manajemen RS setempat untuk memenuhi tuntutan mereka selaku pihak yang dirugikan akibat peredaran vaksin palsu. Mereka mengingatkan pengelola RS setempat agar tidak bersikap diskriminasi dalam menyelesaikan kasus tersebut.

Salah satu perwakilan keluarga korban vaksin palsu di RS Harapan Bunda, August Octavianus Siregar mengatakan, pihak manajemen RS harus memenuhi tuntutan para pasien sebagai bentuk tanggung jawab instansi tersebut terhadap konsumen. "RS Harapan Bunda tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya dengan menyerahkan persoalan ini begitu saja kepada pemerintah," ujar August di Jakarta, Rabu (20/7).

Dia mengatakan, kasus vaksin palsu di RS Harapan Bunda tidak bisa diselesaikan hanya dengan vaksinasi ulang terhadap korban. Penuntasan masalah tersebut, menurutnya, hanya bisa dicapai lewat solusi yang mampu menjamin pemulihan efektif bagi para korban di masa mendatang. 

Ia juga mendesak manajemen RS Harapan Bunda untuk memfasilitasi medical check up bagi para pasien yang pernah divaksinasi oleh petugas medis setempat sejak 2003-2016. Medical check up perlu dilakukan untuk mengetahui berapa sebenarnya jumlah korban yang terpapar vaksin palsu di RS tersebut.

"Untuk itu, kami meminta Direktur RS Harapan Bunda secara terbuka menjawab dan memenuhi tuntutan-tuntutan kami selaku keluarga korban, tanpa adanya diskriminasi," ucapnya.

Manajemen RS Harapan Bunda sebelumnya mengklaim peredaran vaksin palsu di RS itu berlangsung antara Maret-Juni 2016. Sementara, hasil investigasi Bareskrim Mabes Polri mengungkap bahwa produksi vaksin palsu di Indonesia justru sudah ada sejak 2003.

Pengelola RS Harapan Bunda sebelumnya juga menjamin bahwa pasien yang divaksinasi di luar periode Maret-Juni 2016 dan melaukan pembayaran di kasir resmi rumah sakit, dipastikan menerima vaksin asli, bukan vaksin abal-abal. Sementara, data yang dirilis Bareskrim Mabes Polri pada akhir pekan lalu menyebutkan, adanya pasien yang terverifikasi menerima vaksin palsu meski sudah melakukan pembayaran lewat kasir resmi di RS itu.

Pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Alvon Kunia Palma menuturkan, pemerintah tidak semestinya menganggap enteng persoalan vaksin palsu. Pasalnya, kasus tersebut menyasar kaum anak-anak yang notabene merupakan aset berharga bagi bangsa ini.

Ia berpendapat, pemerintah harus mengadakan penelitian yang mendalam terlebih dulu, sebelum menyimpulkan berapa sesungguhnya jumlah korban vaksin palsu di RS Harapan Bunda. "Pemberian vaksinasi ulang saja belum bisa dikatakan sebagai solusi yang efektif," kata Alvon.

Ia menambahkan, YLBHI saat ini tengah mempersiapkan berkas-berkas gugatan untuk membawa persoalan vaksin palsu di RS Harapan Bunda ke ranah hukum. "Kami masih mengumpulkan data para pasien beserta catatan medis mereka. Sejauh ini sudah ada 400 data pasien yang kami kumpulkan," ucapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement