Kamis 28 Apr 2016 09:50 WIB

Saatnya Membudidayakan Bawang Merah Ramah Lingkungan

Red: M Akbar
Petani memeriksa tanaman bawang merah di area persawahan Desa Larangan, Kecamatan Larangan, Brebes, Jawa Tengah, Senin, (11/4). (Republika/Agung Supriyanto)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Petani memeriksa tanaman bawang merah di area persawahan Desa Larangan, Kecamatan Larangan, Brebes, Jawa Tengah, Senin, (11/4). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Ir Suryo Wiyono, MscAgr (Ketua Departemen Proteksi Tanaman IPB)

Masalah serangan hama ulat bawang (Spodoptera exigua) sempat menarik perhatian. Penyebabnya ketika Presiden Joko Widodo mendapat 'bingkisan' daun bawang merah. Di sinilah perhatian itu muncul. Daun bawang merah yang diberikan kepada orang nomor satu di negeri ini ternyata terserang ulat.

Entah di sengaja atau tidak, yang jelas pemberian daun bawang dari petani pada saat Jokowi berkunjungan ke Brebes, 11 April 2016, telah membuka mata banyak pihak bahwa hama ulat bawang tadi perlu mendapat perhatian serius.

Perlu diketahui, serangan hama dan penyakit pada tanaman bawang merah merupakan hambatan utama dalam produksi bawang merah. Berdasarkan pengalaman dan observasi lapangan, dua hama atau penyakit yang sangat merusak bawang merah adalah ulat bawang (Spodoptera exigua) dan busuk batang fusarium (Fusarium oxysporum). 

Serangan hama dan penyakit tersebut setiap tahunnya terus saja meningkat dan semakin memberatkan usaha produksi. Mengapa hama dan penyakit itu bisa menjadi momok yang menakutkan para petani bawang merah?

Penyebab utamanya adalah rusaknya agroekosistem bawang merah atau rusaknya lingkungan sekitar hamparan pertanaman bawang merah. Kerusakan ekosistem pertanaman bawang merah itu disebabkan penggunaan pestisida yang tinggi untuk mengendalikan hama dan penyakit.

Penggunaan pestisida yang tinggi ini telah dilakukan secara intensif dan tidak ada upaya untuk menurunkannya. Akibatnya, terjadilah resistensi terhadap hama dan penyakit. Jika diibaratkan seperti halnya seorang pasien yang diberikan obat dosis tinggi oleh seorang dokter. Dosis tinggi itu bakal membuat resistensi baru dan akan membuatnya terus dikasih dosis lebih tinggi lagi.

Penggunaan pestisida secara masif tadi juga berdampak pada meningkatnya biaya produksi tanaman bawang. Alhasil, usaha tani bawang pun menjadi tidak menguntungkan. Sebagai gambaran saja, biaya pembelian pestisida untuk tanaman bawang merah per musim per hektare itu sekitar Rp 16 juta.

Dengan biaya setinggi itu tidak mengherankan jika usaha tani bawang merah dalam negeri ini menjadi tidak ekonomis dan membuat produksi bawang nasional menjadi tidak kompetitif. Kondisi ini terlihat ketika dibandingkan dengan bawang merah impor yang umumnya masuk dengan harga lebih murah. Untuk itulah perlu adanya terobosan dalam mengembangkan budidaya bawang merah yang lebih ekologis dan lebih murah.

Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB melalui berbagai penelitiannya telah menghasilkan satu teknologi yang sangat efektif dan ramah lingkungan dalam mengendalikan ulat bawang Spodoptera exigua. Caranya dengan menggunakan virus, yaitu Se NPV (Spodoptera exigua Nucleopolyhedrosis Virus).  

Virus serangga ini menyebabkan ulat menjadi sakit dan mati dalam tempo 1-3 hari. Hasil uji coba memperlihatkan tingkat keefektifan lapangan sangat tinggi, yaitu mencapai 93 persen. Temuan itu didapat setelah dilakukannya uji coba pada pertanaman bawang merah di lapangan di Brebes, Tegal dan Cirebon. Jadi tidak hanya uji di laboratorium.

Hasilnya, virus yang menyerang serangga ini aman terhadap musuh alami, ternak dan manusia serta mudah diperbanyak oleh petani. Musuh alami ini merupakan istilah yang merujuk pada pemanfaatan organisme yang ditemukan di alam. Musuh alami ini dimanfaatkan untuk membunuh serangga perusak atau hama.

Sebagai respon terhadap serangan hama ulat bawang tersebut, Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB menerjunkan Klinik Tanaman. Klinik ini berkeliling ke Brebes pada 23-24 April 2016.  

Selain mengadakan pengamatan lapangan, Klinik Tanaman ini membagikan juga biang dari Se NPV ke petani pengelola pos agen hayati. Mereka ini adalah petani yang berasal dari sentra bawang merah yaitu Brebes, Tegal, Kulonprogo dan Nganjuk. Selanjutnya biang tersebut akan diperbanyak di berbagai pos agen hayati untuk dapat diaplikasikan petani di daerah masing-masing. 

Inilah sebuah ikhtiar nyata untuk membantu petani bawang merah dari institusi kampus. Tentunya perlu adanya kebersamaan dan keinginan yang kuat dari semua pihak untuk bisa memaksimalkan budidaya bawang merah yang lebih ramah lingkungan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement