REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN-- Maraknya isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di dunia kampus membuat Sri Purnomo menaruh perhatian khusus terhadap masalah tersebut. Bahkan usai dilantik sebagai Bupati Sleman, Sri Purnomo mengaku berkomitmen untuk menangani masalah tersebut.
Pasalnya Sleman merupakan kota pendidikan. Di mana banyak perguruan tinggi negeri dan swasta berdiri di daerah bagian utara Yogyakarta itu. Bahkan di Sleman terdapat delapan perguruan tinggi negeri. Di antaranya UGM, UNY, dan UIN Sunan Kalijaga.
“Kita ini negara beragama. LGBT tidak bisa toleransi lagi. Ditambah kita pusat pendidikan. Ya hal tersebut harus kita tangani,” ujarnya, Kamis (18/2). Namun Sri menyampaikan, penanganan LGBT bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah. Tapi juga membutuhkan peran aktif dari masyarakat dan perguruan tinggi.
Menurut Sri, LGBT sendiri sebenarnya merupakan fenomena lama yang sudah terjadi sejak zaman Nabi Nuh AS. Namun isu tersebut sengaja dimunculkan di negara maju. Lalu disebarkan melalui proses globalisasi. Sebagai pengayom masyarakat, ia berpendapat, pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warganya dari nilai-nilai kontranorma tersebut.
“Kita akan fokus untuk menangani masalah ini. Jika nantinya diperlukan rehabilitasi, nanti kami akan lakukan rehabilitasi,” kata Sri. Adapun hal yang paling penting untuk dilakukan saat ini adalah membentengi masyarakat agar LGBT tidak menjadi tren dalam kehidupan sehari-hari.
Sri menuturkan, perkara LGBT pun sudah seharusnya menjadi bahasan di level forum pimpinan daerah. Di antaranya meliputi Bupati, Kapolres, Dandim, dan Kepala Kementerian Agama (Kemenag). Ia berpendapat, jika penanganannya hanya diserahkan pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD), maka masalah LGBT ini tidak akan selesai.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) 2016, Ravik Karsidi menegaskan pelarangan LGBT di kampus. Menurutnya, meskipun belum ada kebijakan resmi mengenai LGBT, Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Menristekdikti) sudah menyampaikan penentangan secara lisan terhadap gerakan tersebut.
Ia mengakui adanya pernyataan normatif pro dan kontra di masyarakat terkait LGBT. "Namun saya harapkan praktek seperti ini jangan sampai terjadi di kampus atau dilakukan oleh warga kampus di manapun," ujarnya pada Republika, Sabtu (30/1).
Bahkan menurutnya, meski ada beberapa pihak yang mendukung LGBT atas dasar menghargai perbedaan, hal tersebut tetap salah. Sebab secara norma agama, LGBT tetap merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan.
"Harapannya pendalaman agama kita semakin baik, sehingga bisa menghindari penyimpangan yang dilarang," ujarnya. Namun Ravik mengatakan, jika warga kampus ingin mengkaji LGBT dari aspek gender dan persfektif ilmiah masih diperbolehkan. Adapun yang dilarang adalah prakteknya di lingkungan perguruan tinggi.
Rektor UNY, Rochmat Wahab juga menyampaikan, penolakan terhadap LGBT. "Kita dukung sepenuhnyaLGBT tidak beroperasi di kampus. Tapi kalau di luar, itu sudah bukan jadi kewenangan kita," tutur Rochmat.
Ia menjelaskan penyimpangan terhadap norma di kampus tidak dapat diterima. Sebab perguruan tinggi sendiri memiliki aturan dan regulasi yang harus diikuti.
Menurutnya, LGBT menjadi salah satu topik utama yang masuk ke dalam bahasan pendidikan karakter.
"Ini tentunya jadi perhatian kami. Sebab ini merupakan masalah serius yang harus ditindaklanjuti," tandasnya.
Rochmat pun berharap agar seluruh mahasiswa di kampus se-Indonesia dapat memahami dan memilah perilaku yang benar dan salah. Sehingga bisa menghindari hal-hal yang menyebabkan kelainan psikologis dan seks terjadi.
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta ini pun menyampaikan, sebetulnya LGBT merupakan perilaku menyimpang yang dapat menular. Maka itu diperlukan recovery atau penyembuhan bagi siapapun yang terindikasi mengalami kelainan tersebut. "Hal ini dilakukan, utamanya untuk mencegah LGBT. Supaya yang masih normal tidak tertular," katanya.