Senin 21 Sep 2015 06:00 WIB

Mengapa Raja Saudi Memilih Gelar Pelayan Dua Tempat Suci?

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Banyak kritik dialamatkan kepada Kerajaan Arab Saudi, terutama terkait dengan pengelolaan Dua Tempat Suci, Mekah dan Madinah. Kritik itu semakin tajam manakala terjadi hal-hal buruk yang berhubungan dengan penyelenggaraan haji dan umrah. Misalnya musibah terowongan al Mu’aisim Mina pada 1990 yang menewaskan 1.462 orang, insiden di Jamarat Mina pada 2006 yang menyebabkan 362 jamaah haji meninggal dunia, dan kebakaran tenda jamaah haji di Mina yang menewaskan 340 orang.

Juga peristiwa-peristiwa lain yang mengganggu pelaksanaan ibadah haji atau umrah.Termasuk sebuah serangan teroris terhadap Masjidil Haram pada 1979. Pada waktu itu, para teroris sempat menyandera para jamaah yang sedang melaksanakan ibadah di Masjidil Haram. Yang terakhir adalah tragedi jatuhnya crane di Masjidil Haram pada Jumat (11/9) pekan lalu yang menyebabkan 107 wafat dan 238 luka-luka.

Atas berbagai peristiwa itu, kritik pun diarahkan kepada para penguasa Kerajaraan Saudi. Antara lain, Arab Saudi dianggap lalai memperhatikan keamanan dan keselamatan jamaah haji dan umrah. Tuntutan internasionalisasi penyelenggaraan ibadah haji dan umrah pun kembali mengemuka. Yakni, agar operasional penyelenggaraan ibadah haji dan umrah dilakukan oleh sebuah lembaga yang dibentuk oleh organisasi internasional. Misalnya, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) atau lainnya.

Kritik lainnya, pembangunan di Mekah dan Madinah yang dilakukan Pemerintah Saudi lebih berorientasi pada kepentingan bisnis. Kurang memperhatikan kesakralan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dua masjid yang disucikan umat Islam di seluruh dunia itu kini dikepung oleh hotel-hotel dan pertokoan yang menawarkan kemewahan. Hal ini tentu saja sangat kontras dengan tujuan kedatangan jamaah haji. Gaya hidup hedon, barangkali itulah istilah yang paling cocok tentang pembangunan di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Pemerintahan Arab Saudi sendiri tentu sangat sadar dengan berbagai kritik tadi. Mekah dan Madinah jelas penting dan sangat sensitif bagi mereka. Salah satu buktinya, Ketua Lembaga Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi -- kini dijabat oleh Sheikh Dr Abdul Rahman al Sudais -- pun diposisikan setingkat menteri. Raja-raja Arab Saudi sendiri, sejak Raja Fahd bin Abdul Aziz -- menjadi raja dari 1982 hingga 2005 -- pun merasa perlu mengganti gelar Jalalatul Malik atau Shohibul Jalalah alias Sri Baginda Raja dengan gelar Khadimul Haramain. Yang terakhir ini bermakna sebagai Pelayan Dua Tempat Suci.

Ada beberapa hal mengapa Mekah dan Madinah sangat penting buat Kerajaan Saudi. Pertama, dua kota suci itu merupakan bagian dari wilayah mereka. Karena itu, dengan alasan apapun, bisa dipahami bila mereka menolak keras intervensi pihak mana pun, terutama pihak luar, dalam urusan Mekah dan Madinah, termasuk urusan penyelenggaraan haji dan umarah.

Kedua, dengan adanya Mekah dan Madinah secara otomatis menjadikan Saudi tujuan kunjungan umat Islam dari seluruh dunia. Waktunya sepanjang tahun dan tanpa promosi atau iklan.  Setiap jamaah haji akan berada di negara itu selama sekitar 40 hari. Sedang jamaah umrah sekitar 8 hari. Tidak terlalu susah menghitung berapa devisa yang bisa dihasilkan dari jamaah haji dan jamaah umrah ke negara ini.

Ketiga, dengan adanya Mekah dan Madinah yang merupakan dua tempat suci umat Islam tentu memberikan posisi dan pengaruh yang strategis bagi Kerajaan Saudi. Bukan hanya terhadap negara-negara Islam, namun juga negara-negara lain. Apalagi Saudi ditunjang dengan penghasilan minyak yang melimpah, sehingga pengaruhnya di percaturan politik dunia, terutama Timur Tengah dan Islam, sangat besar --  baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya dan lainnya.

Dengan berbagai pertimbangan itu, Arab Saudi tampaknya paham betul mereka  tidak bisa ‘main-main’ dengan apa pun yang menimpa atau merugikan jamaah haji. Seperti halnya tragedi jatuhnya crane yang menimpa para Tamu Allah SWT itu, meskipun mereka bisa saja mengatakan musibah itu disebabkan oleh tiupan angin yang sangat kencang. Atau dengan kata lain, mereka sebenarnya bisa saja menyatakan jatuhnya alat berat bangunan tersebut lantaran musibah alam. Namun, hal itu tidak mereka lakukan.

Hanya dalam lima hari, Raja Salman sudah bisa mengeluarkan keputusan penting terkait dengan peristiwa naas menjelang puncak pelaksanaan ibadah haji itu. Keputusan penting yang didasarkan pada hasil investigasi tim independen yang mereka bentuk. Keputusan yang tampaknya bisa diterima semua pihak.

Dalam keputusan itu antara lain dinyatakan, crane jatuh terkena angin yang sangat kencang karena posisinya yang salah. Penyebabnya,  Saudi Binladin Group (SBG) -- sebagai kontraktor pembangunan dan perluasan Masjidil Haram -- telah menyalahi SOP (Standard Operating Procedure), terutama yang terkait dengan soal keselamatan. Sang kontraktor juga dinilai tidak mengindahkan peringatan akan adanya cuaca buruk dan angin kencang.

Selanjutnya Pemerintah Saudi menjatuhkan sanksi berupa larangan kepada seluruh manajemen SBG, termasuk CEOnya Sheikh Bakar bin Ladin, untuk bepergian keluar negeri. Raja Salman juga memerintahkan untuk dimulainya penyidikan dan penyelidikan terhadap SBG dan membawanya ke pengadilan. Dan, hingga keputusan pengadilan, SBG dilarang mengerjakan proyek-proyek dan mengikuti tender proyek di seluruh wilayah Arab Saudi.

Sedangkan terkait dengan korban jatuhnya crane, Pemerintah Saudi akan memberikan santunan yang laik. Santunan ini diberikan baik kepada yang bersangkutan maupun keluarganya.

Dari keputusan Raja Salman itu, yang paling berat, sebagaimana disampaikan sejumlah pengamat di Timur Tengah, adalah pemberian sanksi kepada Saudi Binladin Group. Sebab, sejarah pembangunan dan kemajuan Kerajaan Saudi hingga menjadi negara yang modern sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari peran SBG. Begitu pula sebaliknya. Bisnis SBG bisa menggurita juga lantaran proyek-proyek yang diberikan Pemerintah Saudi.

Boleh dikata kedekatan SBG dengan Kerajaan Saudi sudah dimulai sejak generasi pertama,  antara Raja Abdul Aziz bin Saud dengan Mohammad bin Awad bin Ladin (pendiri SBG) pada 1930-an. Proyek pertama yang dikerjakan Bin Ladin adalah pembangunan jalan-jalan di Riyadh. Hubungan itu terus berjalan baik hingga generasi kedua dan ketiga sekarang ini. Bahkan di antara keluarga besar Bin Ladin dan keluarga pendiri kerajaan telah berlangsung saling besanan.

Namun, hubungan baik antara dua keluarga besar itu tidak menghalangi Raja Salman untuk bertindak tegas dan adil manakala berhubungan dengan nasib jamaah haji dan umrah. Jamaah haji dan umrah adalah Tamu Allah. Sebagai negara tuan rumah, Kerajaan Arab Saudi berkewajiban memberikan keamanan, kenyamanan, dan pelayanan sebaik-baiknya kepada mereka.

Apalagi jamaah haji selama di Tanah Suci bukan dengan tangan kosong. Mereka bukan TKI atau TKW yang mencari kerja. Mereka membawa uang yang sangat cukup untuk bekal selama sekitar 40 hari berada di Tanah Suci, dan itu jelas menguntungkan Arab Saudi.

Keputusan Raja Salman untuk menghukum SBG dan memberikan santunan laik kepada korban tragedi jatuhnya crane bisa jadi merupakan respons yang baik untuk menjawab kritik. Dan, keputusan itu laik diapresiasi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement