REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nila F Moeloek menyebutkan sebanyak 22.535 orang menderita gangguan kesehatan yakni ISPA akibat kabut asap yang melanda sejumlah daerah di Indonesia.
"Data per 11 September 2015 jumlah penderita gangguan akibat kabut asap 22.535 orang dan ada kemungkinan akan terus bertambah karena kabut asap akibat kebakaran hutan masih terjadi," kata Menteri Kesehatan pada Simposium Nasional Komunikasi Kesehatan di Kampus Universitas Padjadjaran (Unpad) di Jatinangor Kabupaten Sumedang, Rabu.
Menkes mengatakan, khusus untuk penyakit ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) Kementerian Kesehatan mencatat sebanyak 18.000-an orang. Menurutnya saat ini kondisi udara di Sumatera akibat kabut asap telah melebihi ambang batas. Polusi asap di sana, kata dia sudah masuk kategori berbahaya.
Menurut dia pihaknya sudah mengimbau kepada masyarakat untuk tidak keluar rumah. Terutama orang-orang yang berisiko tinggi, seperti orang tua, ibu hamil dan anak-anak, sebisa mungkin tidak keluar rumah tanpa menggunakan masker.
Sebagai upaya untuk menanggulangi semakin bertambahnya korban yang terkena gangguan pernapasan, Nila mengatakan sudah menyediakan masker gratis untuk warga.
"Penyediaan masker juga akan ditambah lagi hari ini ke kawasan yang terkena kabut asap," katanya.
Selain itu, pihaknya juga sudah melakukan koordinasi dengan dinas-dinas kesehatan untuk menerjunkan tenaga medis guna mengobati warga yang terkena dampak kabut asap, baik di wilayah Sumatera, Kalimantan, bahkan Garut dan Kabupaten Bandung yang sedang terjadi kebakaran hutan Gunung Papandayan.
"Sebenarnya tenaga medis setempat cukup. ISPA juga bukan untuk dirawat, kita hanya mengobati saja. Jadi kita bantu suplai obat-obatan, masker dan makanan tambahan. Tenaga medis juga kita akan dikirimkan," katanya.
Adapun Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan mengatakan darurat asap di Indonesia masih berlangsung hingga dua bulan ke depan. Selain Sumatera dan Kalimantan, potensi asap terdapat pula di Sulawesi, Papua dan Jawa.
"Potensi masih tinggi ini harus diantisipasi oleh semua pihak, baik itu pemerintah dan warga itu sendiri," katanya.