Jumat 07 Aug 2015 09:45 WIB

Masa Depan Muhammadiyah

Muhammadiyah.
Foto: Muhammadiyah.
Muhammadiyah.

Kondisi kita

Kita harus terus berpikir membuat peta jalan perjuangan persyarikatan di masa depan. Berikut beberapa realitas yang perlu kita cermati tentang Muhammadiyah.

Pertama, semangat beramal saleh di kalangan persyarikatan agak lesu. Banyak bangunan Muhammadiyah yang sudah diresmikan peletakan batu pertamanya, setelah beberapa tahun bangunan itu tak kunjung selesai. Sebab utamanya, pembiayaan yang macet atau berjalan sangat pelan.

Kedua, proses kaderisasi di Muhammadiyah berjalan cukup lamban. Makin jarang terdengar latihan kepemimpinan Darul Arqam di daerah. Ketiga, kecintaan pada Alquran masih terlihat belum menyeluruh di kader dan pimpinan.

Keempat, kantor persyarikatan cukup megah tetapi sering kali lengang. Sedikit aneh, gerakan tajdid tidak sering menyaksikan para kadernya bermusyawarah memecahkan berbagai masalah.

Kelima, semboyan tidak ada kejayaan Islam tanpa dakwah dan tidak ada dakwah tanpa pengorbanan agaknya tidak bergaung lagi di kalangan keluarga besar Muhammadiyah.

Keenam, semangat menjalankan ibadah makhdhah, seperti shalat berjamaah di masjid terasa sepi. Masjid-masjid Muhammadiyah tak lagi jadi pusat bertemunya pimpinan dan kader serta anggota Muhammadiyah.

Ketujuh, kecintaan sebagian pimpinan Muhammadiyah pada sekolah sendiri sering kali basa-basi. Malah acap kali kita saksikan sebagian tokoh atau kader Muhammadiyah baru mau menyekolahkan anaknya di sekolah Muhammadiyah setelah ditolak ke sana kemari.

Kedelapan, semangat berjuang atau berjihad tampak melempem. Tak sedikit aktivis kita yang mengeluh kalau harus turun ke bawah, membina persyarikatan di tempat yang relatif jauh dan sedikit sulit perjalanannya.

Kesembilan, sering kali kita lihat fenomena aneh, sebagian pimpinan Muhammadiyah tidak begitu cinta dan bangga dengan Muhammadiyah. Mungkin agak mirip dengan sikap sebagian kiai pimpinan pesantren yang tidak bangga dan cinta dengan pesantrennya.

Kesepuluh, kadang kala ada fenomena aneh, sebagian pimpinan Muhammadiyah menderita penyakit rendah diri. Islam tak pernah mengajarkan umatnya bersikap rendah diri (kompleks inferioritas) maupun jemawa dan percaya diri berlebihan (kompleks superioritas).

Saya ingat rumus Pak AR, kalau pemimpin Muhammadiyah bertemu pejabat negara setinggi apa pun harus wajar-wajar saja. Tidak perlu membungkuk sampai nyaris tiarap, tetapi juga tidak perlu berkacak pinggang.

Tentu masih banyak potret Muhammadiyah masa kini yang dapat kita bicarakan, yang menggambarkan betapa Muhammadiyah agak lesu darah, kurang bertenaga dalam menggerakkan amal saleh, cenderung dijangkiti penyakit malas dan kurang percaya diri. Pertanyaan pentingnya, apa yang mesti kita kerjakan agar usaha izzul Islam wal muslimin kembali meriah, penuh syiar, bertenaga, dan lebih efektif?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement