REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sudah menyiapkan antisipasi terkait kemungkinan pelanggran yang akan dilakukan petahana, pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan uji materi Pasal 7 huruf R Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada).
"Itu keputusan (MK), final mengikat. Kita semua harus menerima bahwa tidak ada pembatasan terhadap petahana. Jadi, keluarga petahana itu punya hak yang sama," ujar Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Muhammad.
Ia melanjutkan, antisipasi itu antara lain dilakukan Bawaslu dengan membuat pemetaan. Yakni, kabupaten/kota atau provinsi mana saja yang bakal calon kepala daerahnya masih punya hubungan kekerabatan dengan petahana.
"(Bawaslu) sudah memetakan potensi kerawanan," katanya.
Demikian pula, dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo pada hari ini (8/7) di Istana Negara, Muhammad telah meminta dukungan Presiden. Yakni, agar Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) meminimalkan potensi pelanggaran Pilkada oleh oknum PNS.
"Bahwa penting Presiden memastikan melalui Kementerian PAN Reformasi Birokrasi mengenai netralitas birokrasi dan PNS karena ada putusan MK," jelasnya.
Belajar dari tahun-tahun sebelumnya, lanjut Muhammad, petahana punya kecenderungan untuk curang dalam Pilkada. Misalnya, mengerahkan birokrasi melalui mobilisasi PNS yang menjadi bawahannya.
Muhammad menambahkan, petahana itu mengiming-imingi promosi jabatan kepada pemilih yang PNS. Tidak ketinggalan, penggunaan fasilitas negara dalam kampanye calon kepala daerah yang berkerabat dengan petahana itu.
"Dan kita sudah punya antisipasinya. Mudah-mudahan saja, dengan memahami potensi-potensi itu, kita bisa melakukan upaya pencegahan dan penindakan kalau terjadi pelanggaran," katanya lagi.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Materi tersebut berisi aturan konstusional calon kepala daerah agar tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana dalam Pilkada.
MK menyebut pasal tersebut beserta penjelasannya memuat unsur diskriminatif sehingga bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.