Kamis 09 Jul 2015 06:23 WIB

Fadli: Putusan MK Anulir Larangan Politik Dinasti Sudah Sesuai, Tapi....

Rep: Issha Harruma/ Red: Bayu Hermawan
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon
Foto: ROL/Fian Firatmaja
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materi Pasal 7 huruf R Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada).

MK menilai larangan seseorang yang punya hubungan dengan petahana (incumbent) ikut Pilkada bertentangan dengan pasal 28 J UUD 1945 karena dianggap diskriminatif.

Wakil Ketua DPR, Fadli Zon menilai dicabutnya larangan keluarga petahana ikut dalam Pilkada, sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Terlebih dengan pertimbangan hak asasi manusia (HAM).

"Saya kira masuk akal karena memang konstitusi kita tidak melarang apakah punya hubungan darah atau tidak, tidak diatur di situ. Mungkin argumentasi ini juga terkait dengan hak asasi warga negara," jelasnya.

Meski begitu, Fadli mengatakan Pasal 7 huruf R dalam UU Pilkada tersebut dibuat oleh DPR dan pemerintah dengan tujuan yang baik, yakni agar para calon kepala daerah benar-benar berkualitas dan daerah tidak dikuasai dinasti tertentu. Ia menilai ada kecenderungan negatif yang akan muncul jika suatu daerah dikuasai oleh dinasti tertentu.

"Ada kecederungan potensi penyelewengannya semakin tinggi. Tingkat korupsi juga punya potensi lebih besar karena ada kaitan dengan anak, bapak, ipar dan sebagainya," katanya.

Politikus Gerindra itu pun mengaku, secara pribadi ia menginginkan agar Pasal 7 huruf R tersebut tetap ada. Menurut politikus Partai Gerindra itu, adanya pasal tersebut bertujuan untuk memperbaiki kualitas hasil pilkada, yakni para elit daerah.

"Kita ingin hasilnya orang-orang terbaik yang bisa memimpin dan bawa kemajuan. Bisa saja yang terkait hubungan darah itu bagus, tapi bisa menunggu lah, satu periode kan. Karena bisa terjadi conflict of interest, seperti yang sering terjadi. Itu pendapat pribadi saya," ujarnya.

Namun, Fadli menegaskan, semua pihak tetap harus menghargai keputusan tersebut. "Kalau sudah ada keputusan, ya kita harus tunduklah dengan keputusan itu karena keputusan itu final dan mengikat," ucapnya.

Untuk diketahui, MK mengabulkan gugatan uji materi Pasal 7 huruf R Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Uji tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas aturan bagi calon kepala daerah agar tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana dalam Pilkada.

Dalam putusannya, MK menilai materi yang ada dalam pasal 7 huruf r tersebut bertentangan dengan undang-undang dasar (UUD 1945) yakni pasal 28 J, di mana terdapat muatan diskriminatif. Dengan putusan MK tersebut, maka aturan yang melarang kerabat petahana sebagai mana dimaksud pasal tersebut tidak berlaku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement