Selasa 16 Jun 2015 20:52 WIB

Menggebuk Nurani KPK di Sengkarut Konflik Sepak Bola

Komisi Pemberantasan Korupsi
Foto: ANTRA
Komisi Pemberantasan Korupsi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Angga Indrawan

Twitter: @indrawan_angga

Sebagian pihak sepakat gelombang revolusi PSSI telah lahir dari rahim nurani pencinta sepak bola Tanah Air. Melalui pembekuan PSSI pada 18 April 2015, Menpora Imam Nahrawi dinilai telah menjadi bidan lahirnya bayi revolusi sepak bola nan ciamik. Sisanya, perangkat hukum silakan bekerja. Ungkap kasus mafia sepak bola, atau membuktikan dugaan koruptif para pengurus yang barangkali khilaf pernah ada.

Satu per satu keberanian publik mencuat. Isu megakorupsi FIFA seolah menjadi pintu rakyat Indonesia memimpikan revolusi yang sama di tubuh PSSI. Perlawanan dalam jalur hukum dilakukan. Aksi dinilai tak perlu anarkis.

Puncaknya, PSSI dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), awal pekan kemarin. Organisasi yang mengatas namakan diri Komunitas Supporter Anti Korupsi (KoruPSSI), setidaknya menyebut ada empat dosa besar PSSI. Dosa besar dalam wujud dugaan korupsi dalam rentang beberapa periode kepengurusan silam.

Sebut saja dalam laporan, muncul soal bantuan Kemenpora dalam APBN 2014 senilai Rp Rp 439,7 juta, yang disalurkan kepada PSSI untuk pemberdayaan dan Pemusatan Latihan Asian Youth Games Timnas U-14. Dugaan koruptifnya, kegiatan itu telah dilakukan sebelum anggaran diturunkan. Aneh jika itu memang benar!.

Begitu juga dengan bantuan sebesar Rp 20 miliar untuk Timnas ASEAN Football Federation yang disebut terdapat banyak penyimpangan. Misalnya, bantuan sebesar Rp 414,9 juta dari Kemenpora, digunakan tak sesuai perjanjian yang disepakati, dan Pajak Penghasilan atasnya kurang setor Rp 167 juta.

Biro Hukum Kemenpora juga menyebut dalam sidang sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat, bahwa bantuan Kemenpora untuk Kongres Luar Biasa PSSI tahun 2013 sekitar Rp 3,5 miliar. Hingga saat ini, konon kabarnya belum dipertanggungjawabkan oleh PSSI.

Agar tak lagi hanya menjadi 'konon' ceritanya, sudah semestinya KPK terima laporan itu lewat sikap yang serius. Agar tak hanya isapan jempol, KPK perlu responsif.

Jika sejenak mengacu UU KPK pasal 11, KPK punya kewenangan menindak tindak dugaan korupsi, jika salah satunya menyebut: dilakukan orang lain yang menyangkut penyelenggaraan negara dan meresahkan masyarakat. Masih dalam pasal tersebut, KPK pun berwenang menindak sejumlah pihak yang menyebabkan kerugian negara minimal Rp 1 miliar.

Plt KPK, Taufiqurrahman Ruki, sayangnya seolah memandang sebelah mata pelaporan itu. Dalam keterangannya kepada sejumlah pewarta, Ruki berkilah KPK tak memiliki kemestian lantaran PSSI yang bukan Lembaga Negara. Ruki bahkan tegas meredupkan semangat transparansi PSSI, dengan menyebut 'Sebaiknya ke polisi. ke KPK tidak bisa'.

Amat disayangkan jika semangat pemberantasan korupsi harus 'digergaji' lembaga antirasuah itu sendiri. Semangat pemberantasan mafia seolah menguap seiring disudahinya keberadaan Tim Sembilan. Padahal belum lepas dari ingatan, Tim Sembilan bentukan Menpora, dalam risalah laporannya, telah merekomendasikan nota kesepahaman (MoU) antara Menpora dengan sejumlah perangkat hukum, mulai dari Polri, KPK, hingga PPATK demi sepak bola tanpa mafia.

Transparansi dan transparansi. Kata itu memang begitu dirindukan hadir di tubuh PSSI. Hingga saat ini pun, PSSI diketahui masih mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung menyusul ditolaknya banding gugatan soal keterbukaan sejumlah laporan keuangannya. Putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) atas status PSSI sebagai badan publik non pemerintah, pun masih dianggap haram bagi mereka. Wallahualam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement