Rabu 07 Jan 2015 08:42 WIB

DPR Minta Jokowi Evaluasi 100 Hari Kinerja Kabinet

Rep: Muhammad Akbar Wijaya / Red: Winda Destiana Putri
Fahri Hamzah
Foto: antara
Fahri Hamzah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengevaluasi kinerja kabinetnya setelah 100 hari dibentuk.

Fahri melihat ada banyak persoalan yang telah diciptakan Jokowi maupun para menterinya.

"Seharusnya ada evaluasi kinerja 100 hari pemerintahan Jokowi. Ini mutlak dan menjadi hak publik untuk mengetahuinya," kata Fahri kepada wartawan di Jakarta, Selasa(6/1).

Fahri mencatat ada sejumlah kebijakan Jokowi yang berbahaya bagi demokrasi. Dia mencontohkan perintah Jokowi agar para menterinya tidak menanggapi undangan DPR saat pemerintahan baru dibentuk. Menurut Fahri perintah itu keliru karena mengesankan pemerintah bermusuhan dengan DPR. Padahal musuh DPR adalah sesama anggota DPR itu sendiri.

Wakil Sekretaris Jendral DPP PKS ini juga mempersoalkan keputusan Jokowi menaikan harga BBM tanpa berkonsultasi dengan DPR.  Apalagi menaikan harga BBM bersubsidi dilakukan saat harga minyak mentah dunia sedang turun drastis. "Apakah benar harga BBM bersubsidi itu masih disubsidi?," tanya Fahri.

Kebijakan-kebijakan Jokowi juga terkesan tidak menghargai keberhasilan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Padahal, SBY sudah mewariskan stabilitas politik, sosial, ekonomi, dan keamanan kepada pemerintahan Jokowi. SBY bahkan mau mengundang Jokowi dan menjelaskan tata kelola pemerintahan.

"Jokowi juga mendapatkan ruang fiskal sebesar Rp 250 triliun," ujar Fahri.

Tapi apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi? Pemerintahan Jokowi malah mengubah berbagai program sosial yang sudah dicanangkan SBY dengan nama baru.

Seolah segala program seperti beasiswa bagi siswa miskin, jaminan kesehatan untuk rakyat, dan program kesejahteraan bagi keluarga tidak mampu adalah hasil pemikiran Jokowi.

"Harusnya dia berterima kasih, tapi justru yang dia lakukan merubah program-program itu dengan nama lain dan mengklaim itu adalah hasil kerjanya," kata Fahri.

Sejauh ini Jokowi juga belum berhasil membuktikan jargon-jargon kampanye yang dia gembar-gemborkan. Fahri mencontohkan sampai saat ini tidak jelas apa yang dimaksud Jokowi dengan revolusi mental. Sebab tidak gerakan perubahan masif yang dilakukan pemerintah.

"Kalau revolusi mental harusnya ada gerakan yang masif dong, tapi ini tidak ada kan," tegasnya.

Cepat atau lambat rakyat akan bereaksi dengan berbagai kebijakan pemerintah. Fahri mengatakan kemarahan rakyat akan meledak apabila pemerintah terus melakukan kebijakan-kebijakan yang ngawur.

"Tapi kalau sudah waktunya maka dia akan meledak dan menimbulkan banyak kerusakan. Ini bisa terjadi kalau pemerintah terus tidak cermat. Di negara maju saja ada revolusi kok," kata Fahri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement