REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta keterangan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli terkait penyelidikan pemberian SKL (Surat Keterangan Lunas) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Kaitannya dengan kasus BLBI, soal SKL, katanya KPK serius mau menyelesaikan kasus ini dan lain lain juga sudah dipanggil," kata Rizal saat tiba di gedung KPK Jakarta, Senin (22/12).
Namun Rizal enggan menjelaskan mengenai kasus tersebut lebih lanjut. "Saya jelasin dulu kepada KPK," ungkap Rizal singkat.
KPK juga sudah mencegah seorang dari swasta yaitu Lusiana Yanti Hanafiah terkait dengan dugaan pemberian sesuatu kepada pegawai negeri dan atau penyelengara negara terkait perizinan pemanfaatan lahan tanah sejak 4 Desember 2014.
Lusiana diduga mengelola tanah yang diberikan kepada penyelenggara negara yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SKL.
Mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan BPPN berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati yang mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti, dan Laksamana Sukardi.
Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, sebanyak Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara karena tidak dikembalikan kepada negara, tapi baru 16 orang yang diproses ke pengadilan.
Sedangkan sisanya yaitu para obligor yang tidak mengembalikan dana mendapatkan mendapatkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Kejaksaan Agung karena mendapatkan SKL berdasarkan Inpres 8/2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan PKPS.
Sejumlah bank yang mendapatkan SKL antara lain Bank Baja Internasional dengan tersangka Jean Rudy Ronald Pea, Bank Sewu Internasional (Lany Angkosubroto), Bank Papan Sejahtera (Njo Kok Kiong), Bank Istimarat dan Bank Pelita dengan tersangka Agus Anwar, Bank Hokindo (Hokiarto), Bank Dana Hutama (Hadi Purnama Chandra), dan Bank Umum Nasional (Bob Hasan).
Sedangkan Kejaksaan gung baru memproses 16 orang ke pengadilan. Dari 16 orang tersebut, tiga terdakwa dibebaskan pengadilan, 13 orang yang yang telah divonis hanya satu koruptor yang dijebloskan ke penjara, dua terdakwa lain tidak langsung masuk ke penjara dan sembilan terdakwa melarikan diri ke luar negeri.
Salah satunya adalah mantan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan perusahaan ban PT Gajah Tunggal Sjamsul Nursalim yang mendapatkan jatah Rp52,72 triliun namun hingga saat ini Sjamsul belum memenuhi kewajiban pembayarannya dan sudah lari keluar negeri.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), nilai penjualan dari aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau sebesar Rp19,38 triliun dari Rp52,72 triliun yang harus dibayar.