REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih penasihat bidang politik hukum dan keamanan (polhukam) yang cakap. Hal ini agar Jokowi dan para menterinya tidak membuat kebijakan-kebijakan blunder yang mencoreng pemerintah.
"Saya sarankan Jokowi memiliki penasihat polhukam yang canggih," kata Fahri kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (26/11).
Fahri pun menyebut sejumlah orang yang menurutnya cakap dalam memahami persoalan polhukam. Mereka misalnya Yusril Ihza Mahendra, Denny Indrayanan, dan Jimmly Ashidiqie. Saran Fahri agar Jokowi mengangkat penasihat yang cakap memahami persoalan polhukam berangkat dari kekecewaan terhadap menteri-menteri Jokowi yang terlalu mencampuri konflik di internal partai politik.
Pasalnya ia heran dengan pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Tedjo Edy Purdijatno yang meminta polri tidak mengeluarkan izin munas dengan alasan keamanan. Fahri mengatakan saat ini penyelenggaraan acara partai sudah tidak memerlukan izin aparat keamanan.
Partai politik yang ingin menggelar hajat cukup mengirimkan surat pemberitahuan ke aparat keamanan. Masalah keamanan Munas Golkar mestinya diserahkan kepada pihak kepolisian. Fahri khawatir campur tangan pemerintah justru membuat masalah internal Partai Golkar kian meruncing.
"Nanti malah dituduh meruncing suasana. Serahkan itu (urusan keamanan) pada mekanisme. Semua ada petugasnya," kata Fahri.
Wakil Sekretaris Jendral DPP PKS ini mengingatkan pemerintah tidak mengulangi kesalahan Menteri Hukum dan Ham, Yasonna H. Laoly yang mengintervensi konflik politik PPP. Yasonna mengesahkan hasil muktmar PPP di Surabaya yang memutuskan M. Rommahurmuziy sebagai ketua umum PPP.
Keputusan itu, kata Fahri, dilakukan Yasonna sebelum serah terima jabatan dengana menkumham lama dan dibuat dengan mesin ketik manual tanpa konsultasi ke kader PPP di bawah. "Jangan pakai birokrasi negara ini untuk tujuan-tujuan yang menyeret pelanggaran," katanya.