Sabtu 01 Nov 2014 07:13 WIB

Quo Vadis, Liga Indonesia?

 Sejumlah pemain Semen Padang mendesak wasit, Novari Ikhsan, usai pertandingan delapan besar Indonesia Super League (ISL) melawan Arema, di Stadion Agus Salim Padang, Sumbar, Rabu (29/10). (Antara/Iggoy el Fitra)
Sejumlah pemain Semen Padang mendesak wasit, Novari Ikhsan, usai pertandingan delapan besar Indonesia Super League (ISL) melawan Arema, di Stadion Agus Salim Padang, Sumbar, Rabu (29/10). (Antara/Iggoy el Fitra)

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Fernan Rahadi/Wartawan Republika

Sepekan terakhir ini merupakan ujian bagi para pencinta sepak bola nasional. Hal itu disebabkan dua tragedi terjadi pada waktu yang hampir bersamaan di kompetisi dalam negeri.

Tragedi pertama adalah peristiwa 'sepak bola gajah' antara PSS Sleman melawan PSIS Semarang pada babak delapan besar Divisi Utama Liga Indonesia, Ahad (26/10). Peristiwa yang juga diberitakan media-media internasional ini kembali mencoreng muka Indonesia sekaligus mengingatkan peristiwa serupa pada Piala Tiger 1998.

Sementara tragedi kedua adalah skandal memalukan pada partai delapan besar Liga Super Indonesia (ISL) antara tuan rumah Semen Padang melawan Arema Cronus, Rabu (29/10). Pada laga di Stadion Haji Agus Salim itu, wasit bertindak berat sebelah dengan membuat keputusan-keputusan kontroversial yang menguntungkan tim Singo Edan.

Pada peristiwa 'sepak bola gajah', PSSI sudah bertindak cukup cepat dengan memanggil perwakilan PSS dan PSIS yang berujung pada keputusan mendiskualifikasi kedua tim itu dari ajang Divisi Utama 2014. Namun, untuk peristiwa kedua belum ada langkah riil dari induk sepak bola nasional tersebut.

Sekali lagi, keseriusan PSSI menciptakan iklim sepak bola nasional yang kondusif kembali diuji. Menjalani musim pertamanya usai berakhirnya dualisme kompetisi di tanah air, sebenarnya tahun ini adalah kesempatan PSSI, lewat operator PT Liga Indonesia, untuk membuktikan bahwa kompetisi yang mereka selenggarakan benar-benar bersih dari praktek suap.

Namun, berkaca dari peristiwa yang terjadi pada dua laga tersebut, publik menjadi bertanya-tanya lagi apakah para wasit yang ditunjuk operator liga benar-benar independen?

Pada peristiwa pertama, wasit Hulman Simangunsong, terkesan membiarkan saja para pemain PSS dan PSIS saling berlomba-lomba mencetak gol bunuh diri. Meskipun ia berdalih takut memberhentikan pertandingan, Komdis PSSI akhirnya menyatakan sang wasit turut bersalah sehingga menonaktifkannya untuk sementara.

pada kejadian kedua, wasit Novari Ikhsan membuat dua keputusan kontroversial yang menguntungkan Arema. Yang pertama adalah membiarkan pelanggaran kiper Arema, Kurnia Meiga, terhadap striker Semen Padang, Osas Saha, beberapa meter di luar kotak penalti. Karena saat itu striker asal Nigeria itu berpeluang besar mencetak gol, seharusnya Meiga diberi kartu merah.

Kemudian, pada menit-menit akhir pertandingan wasit Novari juga kembali tak memberikan hukuman atas pelanggaran yang dilakukan bek Arema, Victor Igbonefo, atas striker Semen Padang, Esteban Vizcarra. Padahal, dari tayangan ulang, Igbonefo jelas-jelas 'menggunting' Vizcarra di dalam titik 12 pas.

Jika kasus-kasus seperti itu terus berulang, maka bukan tidak mungkin kompetisi dalam negeri Indonesia semakin terpuruk. Penghargaan dari AFC sebagai liga terbaik se-Asia Tenggara pada musim 2009/2010 lalu pun mungkin hanya akan menjadi kenangan manis yang sulit terulang.

Saat ini saja ISL sudah tertinggal dari liga-liga negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura. Berdasarkan rilis International Federation of Football History and Statistics (IFFHS) tahun 2013, ISL saat ini menempati posisi 95 dunia, kalah dari Liga Primer Thailand (63), Liga Super Malaysia (88), dan Liga Singapura (94).

Maka wajar, jika tiap tahun Indonesia tak memiliki wakil yang mengikuti gelaran Liga Champions Asia. Saat Thailand selalu diwakili 1-2 klubnya dalam tiga tahun terakhir, tim-tim terbaik Indonesia harus rela bermain di turnamen kasta kedua di level Asia, yakni Piala AFC. Menjadi wajar jika tim nasional kita selalu dikalahkan oleh Thailand pada tiga pertemuan terakhir di ajang SEA Games dan Asian Games.

Sudah saatnya PSSI berbenah. Melihat dua tragedi yang terjadi hampir bersamaan dalam sepekan terakhir ini, sudah sepantasnya mereka berkaca diri. Sebenarnya sudah sampai sejauh mana usaha mereka membangun kompetisi yang profesional, bersih, dan bermartabat?

Jika keadaan seperti saat ini terus berlangsung, maka jangan harap masyarakat Indonesia menaruh simpati. Para suporter pun akan semakin frustrasi. Sampai di sini rasanya pantas kita bertanya 'Quo Vadis' (Mau Kemana) Liga Indonesia?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement