REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fahri Hamzah menegaskan perubahan nomenklatur kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla harus berdasarkan pertimbangan legislatif karena merupakan prosedur yang diamanatkan konstitusi.
"Pertimbangan (DPR) itu prosedur apabila tidak dilaksanakan maka melanggar undang-undang. Dan apabila terjadi sesuatu hal maka parlemen bilang Jokowi melanggar undang-undang," kata Fahri di Gedung Nusantara III DPR, Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyebutkan memberikan hak pada parlemen untuk mengecek ada atau tidak perubahan struktur kabinet. Namun, menurut dia, undang-undang itu tidak memberikan hak pada DPR untuk mengecek orang yang akan dijadikan menteri dalam kabinet karena merupakan hak prerogatif presiden.
Fahri menilai presiden memiliki banyak hak prerogatif yang bisa dilakukannya namun jangan melanggar hukum dan konstitusi sehingga apa yang dilakukan harus secara prosedur dan mekanisme yang ada. Dia menginginkan penyusunan kabinet Jokowi-JK harus dipikirkan secara matang sehingga tidak ada reshufle dalam waktu dekat sehingga tidak menimbulkan preseden buruk bagi pemerintahan.
"Kami ingin menteri yang mendampingi presiden adalah permanen, kompeten dan kuat sehingga bisa menjalankan proses 'check and balances' dengan parlemen," ujarnya.
Dia mengatakan pemerintahan Jokowi-JK harus bekerja cepat namun jangan sampai memaksa Jokowi melanggar konstitusi diawal pemerintahan. Karena, menurut Fahri, saat ini undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menegaskan penggunaan hak angket sangat mudah dilakukan.
Sebelumnya Ketua DPR Setya Novanto mengatakan institusinya telah menerima surat dari Presiden Joko Widodo mengenai adanya perubahan dan penambahan jumlah kementerian yang ada di kabinet Jokowi-Jusuf Kalla.
Dia mengatakan surat itu sudah sesuai dengan Pasal 17 ayat 4 UUD 1945 dan tidak lepas dari Pasal 6 UU nomor 39 tahun 2008 bahwa pembentukan kabinet paling lambat 14 setelah pelantikan yaitu jatuh pada tanggal 3 November 2014. Pasal 17 UU nomor 39 tahun 2008 disebutkan DPR memiliki waktu tujuh ari membalas surat tersebut dan institusinya berkomitmen untuk segera membalas surat Presiden Jokowi.