REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menilai Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan masih menjadi ancaman. Ancaman bagi kebebasan berserikat dan berkumpul di Tanah Air.
"Oleh karena itu, pemerintahan baru harus segera berinisiatif untuk mencabut UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas)," kata Direktur Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri, Jumat (10).
Untuk melakukan penindakan terhadap ormas, kata dia, sebaiknya terlebih dahulu membentuk kerangka hukum yang melindungi kebebasan berserikat dan berkumpul. Langkah awal, bisa dilakukan dengan segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perkumpulan.
Selama setahun UU Ormas berlaku, lanjut dia, ancaman justru terjadi pada organisasi masyarakat sipil yang prodemokrasi, antikorupsi, dan antikekerasan. Di Lampung, misalnya, ada arahan agar lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang belum terdaftar di instansi Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) agar jangan dilayani.
Ronald juga mencontohkan kasus serupa di Kota Mataram. Kesbangpol di Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) itu mengancam akan membubarkan LSM bermasalah.
"Semua itu disebabkan karena kerancuan dan kekacauan kerangka hukum yang ditimbulkan oleh UU Ormas," kata Ronald.
Mencermati kondisi tersebut, lanjut dia, makin jelas bahwa kebangkitan UU Ormas bukanlah bertujuan menyasar organisasi pelaku kekerasan. Kebangkitan UU Ormas adalah kebangkitan pendekatan hukum rezim Orde Baru yang mengancam kebebasan berserikat berkumpul di Indonesia.