Ahad 05 Oct 2014 16:25 WIB

10 Perbaikan Pilkada Langsung Versi SBY dalam Perppu 1/2014

Rep: Ira Sasmita/ Red: Mansyur Faqih
  Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9).  (Republika/Wihdan)
Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada Kamis (2/10), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait pelaksanaan pilkada. Pertama Perppu Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. 

Perppu tersebut sekaligus mencabut UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang mengatur mekanisme pemilihan lewat DPRD.

Untuk menghilangkan ketidakpastian hukum di masyarakat, SBY juga menerbitkan Perppu Nomor 2/2014 tentang Perubahan UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Isinya menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.

Dalam keterangan persnya yang dilansir laman setkab.go.id, SBY menyebutkan 10 perbaikan dalam pilkada langsung yang dimuat dalam Perppu 1/2014 tersebut.

Sepuluh hal itu adalah:

1.Ada uji publik calon kepala daerah. Sehingga, dapat dicegah calon dengan integritas buruk dan kemampuan rendah. Karena masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup atau hanya karena yang bersangkutan merupakan keluarga dekat dari incumbent.

Uji publik semacam ini diperlukan meski pun tidak menggugurkan hak seseorang untuk maju sebagai calon gubernur, bupati atau wali kota.

2.Penghematan atau pemotongan anggaran pilkada secara signifikan, karena dirasakan selama ini biayanya terlalu besar.

3.Mengatur kampanye dan pembatasan kampanye terbuka. Agar biaya bisa lebih dihemat lagi dan untuk mencegah benturan antarmassa.

4.Akuntabilitas penggunaan dana kampanye, termasuk dana sosial yang sering disalahgunakan. Tujuannya adalah juga untuk mencegah korupsi.

5.Melarang politik uang, termasuk serangan fajar dan membayar parpol yang mengusung. Banyak kepala daerah yang akhirnya melakukan korupsi, karena harus menutupi biaya pengeluaran seperti ini.

6.Melarang fitnah dan kampanye hitam, karena bisa menyesatkan publik dan juga sangat merugikan calon yang difitnah. Demi keadilan para pelaku fitnah perlu diberikan sanksi hukum.

7.Melarang pelibatan aparat birokrasi. Ditengarai banyak calon yang menggunakan aparat birokrasi, sehingga sangat merusak netralitas mereka.

8.Melarang pencopotan aparat birokrasi pascapilkada. Karena pada saat pilkada, calon yang terpilih atau menang merasa tidak didukung oleh aparat birokrasi itu.

9.Menyelesaikan sengketa hasil pilkada secara akuntabel, pasti dan tidak berlarut-larut. Perlu ditetapkan sistem pengawasan yang efektif agar tidak terjadi korupsi atau penyuapan.

10.Mencegah kekerasan dan menuntut tanggung jawab calon atas kepatuhan hukum pendukungnya. Tidak sedikit terjadinya kasus perusakan dan aksi-aksi destruktif karena tidak puas atas hasil pilkada.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement