Sabtu 27 Sep 2014 20:23 WIB

Akademisi: DPRD Buat Perda Saja 'Enggak' Benar

  Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9).  (Republika/Wihdan)
Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Paulus Israwan mendukung rencana permohonan pengujian UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.

"Saya sangat setuju jika dilakukan uji materi. Karena kita dalam 10 tahun ini sudah merasakan apa yang disebut dengan pesta demokrasi oleh rakyat. Nah sekarang pesta itu kemudian tidak ada di rakyat, tetapi pestanya DPRD," katanya di Purwokerto, Jawa Tengah, Sabtu (27/9).

Selama ini, kata dia, masyarakat sering mendengar istilah permusyawaratan dalam perwakilan yang tercantum juga di dalam Pembukaan UUD 1945.

Namun, kata dia, sebenarnya hak rakyat tidak semuanya bisa diwakilkan. Apalagi terkait dengan pemilihan pemimpin.

Menurut dia, pilkada tak langsung berarti tugas DPRD bertambah. Karena tidak hanya melakukan legislasi dan mengawasi. Tetapi juga memilih calon pemimpin rakyat.

"Diberi tugas legislasi, setiap awal tahun menyusun prolegda atau program legislasi daerah, misalnya untuk dibuat perda, itu saja enggak benar. Kita coba di seluruh Indonesia, target-target prolegda yang sudah direncanakan untuk dibuat perda, ternyata sampai satu tahun anggaran tidak selesai," katanya.

Selain itu, kata dia, masih banyak kegiatan pemerintahan yang luput dari pengawasan DPRD. Sehingga banyak sekali penyimpangan.

"Penyusunan anggaran sering kali terjadi perubahan APBD yang perubahannya kadang-kadang sangat jauh sekali dari apa yang telah direncanakan di APBD induk. Sekarang ditambah lagi dengan pekerjaan memilih pemimpin meski pun setiap lima tahun," jelasnya.

Artinya, kata dia, bisa jadi tugas dan fungsi pokok DPRD itu tidak dapat berjalan ketika ada pemilihan kepala daerah. Karena konsentrasi legislator akan terfokus ke pilkada untuk mencari keuntungan dari kegiatan tersebut.

Namun, Israwan mengakui kalau masing-masing sistem memiliki plus-minusnya. Hanya saja, pemilihan pemimpin rakyat terutama di kabupaten yang pemimpinnya harus dekat dengan rakyat seharusnya dilakukan langsung oleh rakyat.

"Jarak antara rakyat dan bupati atau wali kota itu kan begitu dekat. Oleh karena itu, pemilihannya seharusnya dilakukan langsung oleh rakyat. Sehingga rakyat itu betul-betul bisa memilih yang berkualitas," katanya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement