REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan mengatakan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) harus disahkan sebelum masa jabatan DPR periode 2009-2014 berakhir. Jika tidak, maka pembahasan RUU Pilkada oleh DPR periode 2014-2019 mesti dimulai dari titik nol.
"Kalau kita tidak selesaikan RUU Pilkada ini maka RUU ini menjadi gagal. Batal. Kembali menjadi nol," kata Djohan dalam diskusi terbatas "Polemik RUU Pilkada" di kantor DPP PDI Perjuangan, Rabu (16/9).
Djohan mengatakan saat ini pemerintah telah menyiapkan dua draft RUU Pilkada. Draft pertama berisi pelaksanaan pilkada provinsi, kabupaten, kota secara langsung oleh rakyat. Draft kedua, pelaksanaan pilkada dilakukan melalui secara tidak langsung melalui DPRD.
Kedua draft tersebut nantinya akan dibawa dalam rapat Panja RUU PIlkada di DPR untuk diputuskan dalam sidang paripurna 25 September 2014.
"Kami siapkan draft pemilihan langsung dan tidak langsung," ujar Djohan.
Nasib pilkada langsung dan tak langsung bergantung pada posisi terakhir Fraksi Partai Demokrat. Hal ini karena Demokrat memiliki suara paling banyak di DPR periode 2009-2014 yakni sebanyak 148 kursi.
"SBY cenderung Pilkada langsung. Kami akan ikuti tindak lanjut Fraksi Demokrat di RUU Pilkada. Maka kalau paripurna akan lebih unggul yang mendukung langsung," katanya.
Djohan menceritakan RUU Pilkada diajukan pemerintah kepada DPR sejak akhir Desember 2011. Namun DPR baru siap membahasnya pada Juni 2014 hingga sekarang. Artinya, imbuh Djohan pembahasan RUU Pilkada sudah melewati 10 masa sidang DPR. "Dua tahun tiga bulan," ujar Djohan.
Pada tahun 2015 akan ada 204 kepala daerah gubernur, walikota, bupati yang berakhir masa jabatannya. Dalam konteks itu, Djohan mengingatkan pentingnya aturan baru yang memperbaiki pelaksanaan pilkada di masa mendatang.
"Kalau tidak ada aturan baru maka kita akan menikmati kelemahan lama," kata Djohan.
Diselenggarakan langsung atau tidak langsung, pelaksanaan pilkada harus lebih b aik. Djohan misalnya mengatakan apabila pilkada tetap dilaksanakan secara langsung maka harus ada upaya menekan biaya politik tinggi, efisiensi anggaran negara, dan meredam konflik. Misalnya, contoh Djohan adalah dengan melaksanakan pilkada serentak untuk menekan pengeluaran anggaran negara, memperbaiki proses rekruitmen guna mengindari politik dinasti.
"Biaya mahal akan kita atasi sebaik mungkin," ujarnya.