Sabtu 06 Sep 2014 06:00 WIB

Adab pada Media Sosial

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Wanita ini tidak mengira, beberapa detik yang digunakannya untuk menulis sebuah status di media sosial mengantarkan dirinya pada risiko yang teramat besar, bahkan mungkin di luar dugaan.

Florence Sihombing, mahasiswa S-2 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mendapati antrean panjang di SPBU Lempuyangan di Yogyakarta. Karena merasa dirinya akan mengisi Pertamax, ia menyalip dan langsung berhenti di antrean paling depan di tempat pengisian mobil.

Melihat kejadian itu, pengemudi motor lain yang mengantre meneriakinya, “Huuuu, hoiii antre.” Meski diprotes, mahasiswi pascasarjana tersebut tetap meminta petugas untuk mengisi tangki motornya dengan Pertamax. Anggota TNI yang berjaga sempat mengingatkannya untuk menghormati antrean panjang. Saat itu, petugas SPBU tidak bersedia melakukan pengisian. Kecewa mendapat perlakuan tersebut, Florence pun berlalu.

Sampai di sini sebenarnya masalah selesai. Sayangnya, Florence meluapkan kekesalannya di jejaring sosial Path. “Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja,” tulis wanita itu.

Tidak cukup sampai di situ, ia menulis komen lain yang membuat masyarakat Yogyakarta makin marah hingga akhirnya elemen masyarakat Yogyakarta melaporkan Flo ke Polda DI Yogyakarta. Mereka, di antaranya, Granat DIY, Komunitas RO Yogyakarta, Foklar DIY-Jateng, Gerakan Cinta Indonesia, Pramuka DIY, dan berbagai kelompok masyarakat lain.

Di tengah pemeriksaan polisi, sarjana hukum ini konon tidak mau menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) sehingga ditahan karena dianggap tidak kooperatif dan tidak ada iktikad baik.

Banyak pelajaran bisa diambil. Seandainya saja sang mahasiswi tidak mengumbar kekesalannya melalui media sosial, masalah tidak akan berbuntut panjang.

Pertama, ketika kita berurusan dengan internet dan online maka tidak ada yang namanya kontrol. Di antara semua media sosial, Path termasuk yang selektif memilih teman karena dibatasi, tetapi begitu ada yang meng-forward maka tidak ada batas lagi, sky is the limit!

Jangankan Path, di Amerika saja beberapa artis saat ini sedang mempermasalahkan foto rahasia yang terakses, padahal disimpan di file online pribadi di handphone-nya. Jadi, sekali lagi, jangan sembarangan 'mengumbar sesuatu' di media online atau menyimpan file rahasia secara online.

Kedua, jangan menggeneralisasi dan menambah musuh. Kalau saja Florence cuma mengungkapkan kekesalannya pada orang yang mengantre di SPBU mungkin tidak separah ini. Akan tetapi masalahnya, ia menumpahkan kekesalan ke seluruh mayarakat Yogyakarta.

Tentu saja akhirnya yang tidak terkait ikut tersinggung dan berujung pada masalah lebih besar. Saya sendiri yang bukan orang Yogyakarta, berkali kali singgah di sana dan tahu bagaimana ramahnya orang Yogyakarta, cukup tersentak membaca status demikian.

Ketiga, selalu ingat bahwa selain membawa diri sendiri kita juga membawa nama lain yang terkait. Perilaku sang gadis akhirnya mencemari marga keluarga, kesarjanaan hukum yang dipegangnya, fakultas hukum tempat kuliahnya, pendeknya semua nama yang berkait dengannya ikut tercoreng.

Keempat, berpikir panjang sebelum berbuat. Kalau sekadar mengungkapkan emosi, mengapa tidak mengomel atau berteriak sendiri, itu cukup untuk menyalurkan emosi tanpa harus berbuntut panjang. Padahal, kalau dipikir lebih jauh, Flo hanya cukup mengantre mungkin 30 menit atau paling lama satu jam di pom bensin, sangat tidak ada apa-apanya dibanding kini ia harus mendekam di bui beberapa hari.

Saya sendiri selalu berpikir panjang ketika sebelum membuat tweet di akun @asmanadia, juga ketika meng-upload foto di Instagram atau Facebook. Menyadari selain kebaikan yang kita tebarkan melalui media sosial, juga terselip risiko.

Belum lekang dari ingatan beberapa waktu lalu saat seorang wanita muda dikecam di media sosial karena status berisi sumpah serapah pada ibu hamil yang ingin minta duduk di kendaraan umum. Saya kira itu sudah menjadi pelajaran berharga dalam adab pada media sosial. Tapi, ternyata masih ada lagi yang terjebak dalam jurang lebih parah. Semoga saja tulisan ini semakin mengingatkan kita agar lebih bijak 'berujar' pada media sosial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement