REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kota Surabaya mengusulkan kawasan prostitusi Dolly tetap menjadi "milik" mantan PSK, mucikari, tukang parkir, pedagang, dan masyarakat sekitar lokalisasi itu. Namun bentuknya bukan lokalisasi lagi melainkan menjadi wahana produktif yang memekerjakan mereka.
"Kami mendukung langkah Pemkot Surabaya untuk menutup lokalisasi di Surabaya, karena Dolly yang dulu berada di pinggiran kota sudah menjadi tengah kota, sehingga anak-anak kota ini harus dihindarkan dari kawasan lokalisasi," kata Ketua PC ISNU Surabaya Dr Rudi Akhwadi MT di Surabaya, Sabtu.
Namun, caranya bukan dengan "mengusir" mereka atau menyelesaikan dengan "pesangon", sebab hal itu hanya menyelesaikan faktor fisik atau infrastruktur, sedangkan "faktor manusia" tetap tidak selesai.
Karena itu pemerintah kota bisa bekerja sama dengan pengusaha untuk menjamin warga kampung Dolly sebagai "karyawan" dalam wahana produktif yang dibangun pengusaha di sana.
"Jadi, Pemkot tidak hanya memberi pesangon, tetapi bekerja sama dengan pengusaha untuk memberikan keterampilan kepada mereka dan yang terpenting adalah ada jaminan bahwa mereka akan bekerja di lingkungan mereka sendiri, tentu pemerintah tetap perlu melalukan pendampingan dan monitoring keberadaannya," katanya.
Dalam rapat kerja cabang (rakercab) ISNU pada 25 Mei 2014, ISNU Surabaya juga merekomendasikan perlunya Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini untuk menyiapkan Surabaya dan masyarakatnya secara keseluruhan untuk menyongsong Pasar Bebas ASEAN (ASEAN Economic Community atau AEC 2015) yang kini sudah ada di depan mata.