REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bandel. Kata itu barangkali bisa mewakili gambaran hidup manusia Soekarno. Kebandelan yang tidak mesti dimaknai secara negatif. Tapi merujuk pada konsistensi sikap dalam memperjuangkan keyakinan.
Kebandelan Bung Karno sudah tampak ketika dia menjadi mahasiswa di Technische Hooge School/THS (Sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung) pada 1921. Ketika itu rektor THS, Prof Klopper memanggil Bung Karno. Klopper gerah dengan aktifitas-aktifitas politik yang dilakukan Bung Karno. Dia mewanti-wanti agar Bung Karno segera menghentikan aktifitas politik dan berkosentrasi dengan pelajaran-pelajaran perkuliahan. “Kamu harus berjanji sejak sekarang kamu tidak akan lagi ikut-ikutan politik,” kata Klopeer.
Permintaan Klopper ditolak Bung Karno. Dunia pergerakan sudah terlanjur dicintainya. Kepada Kloppper Bung Karno hanya berjanji untuk tidak mengabaikan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa. “Saya berjanji untuk tidak mengabaikan kuliah-kuliah yang Tuan berikan di sekolah”,” jawab Bung Karno.
“Bukan itu yang saya minta,” Klopper menyanggah.
“Tetapi hanya itu yang bisa saya janjikan,” tegas Bung Karno seperti dikutip dari buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.
Bung Karno tidak sedang memberi janji kosong kepada Klopper. Pada 25 Mei 1926 dia meraih gelar insinyur dan diwisuda pada 3 Juli 1926 bersama delapan belas insinyur lainnya. Prof Jacob Clay selaku ketua fakultas pada saat itu menyatakan wisuda Bung Karno menjadi momen penting bagi THS. Ini karena bersama Bung Karno dilantik juga tiga warga pribumi sebagai insinyur. Mereka ialah Anwari, Soetedjo, dan seorang mahasiswa dari Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang. “Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya tiga orang insinyur orang Jawa,” kata Clay.
Sejak terjun pertamakali ke dunia pergerakan pada usia 21 tahun, orasi politik Bung Karno memang langsung mencuri perhatian. Orasinya sarat kritik dan bahkan cenderung menantang Pemerintah Hindia Belanda.
Dalam beberapa kasus, orasi politik Bung Karno sering berakhir dengan kerusuhan. Tak ayal dia mulai dianggap sebagai ancaman. Sejumlah rapat besar yang dihadiri Bung Karno kerap diintai polisi dinas intelejen politik Hindia Belanda. Tapi Bung Karno yang bandel tidak pernah takut. “Dengan ini saya menantang Pemerintah Kolonial. ... Kalau berani hentikan perjuangan kami ini,” tantang Bung Karno saat masih mahasiswa.
Tidak cuma lewat ucapan, kritik Bung Karno terhadap pemerintah kolonial juga dia sampaikan lewat tulisan. Dalam artikelnya berjudul 'Jerit Kegemparan' terbit 1928, Bung Karno mengingatkan kaum nasionalis tentang tanda-tanda kehancuran Kolonialiasme Hindia Belanda.
“Kita, kaum nasionalis Indonesia, memandang jerit kegemparannya Profesor Treub itu, ketua dari perkumpulan kaum modal Belanda, sebagai suatu tanda. Jerit kegemparan ini adalah suatu syptoom (gejala). Ia menandakan, bahwa memang benar lawan-lawan kita ini merasa tanah bergoyang di bawah kakinya. Ia menandakan, bahwa haluan yang diambil oleh kita, kaum nasionalis Indonesia, dan yang diambil oleh saudara-saudara kita, kaum Pan-Islam, adalah haluan yang betul, haluan yang karenanya harus kita teruskan. Selama kaum yang berhadapan dengan kita mencerca kita,– selama itu kita harus berjalan terus. Baru jikalau sebaliknya kaum itu memuji dan membenarkan kita berganti terjang dan berganti jalan”, tulis Bung Karno.
Akhir dekade 1929 Pemerintah Kolonial tidak mampu lagi menahan geram kepada Bung Karno. Pagi 29 Desember 1929, usai menghadiri rapat Perhimpunan Permufakatan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) di Solo, Bung Karno ditangkap 57 polisi kolonial saat bermalam di Yogyakarta. Atas nama Sri Ratu Bung Karno dijebloskan ke Penjara Banceuy. Di tempat ini kemudian Bung Karno menyusun pidato pembelaan (pledoi) 'Indonesia Menggugat' yang menggemparkan.
Pengadilan Landraad Bandung menjatuhkani hukuman empat tahun penjara kepada Bung Karno. Upaya banding yang dia ajukan tidak dikabulkan Ketua Hakim Pengadilan, R Siegenbek van Heukelom. Bagi pemerintah kolonial Bung Karno mesti menjalani hidup sebagai pesakitan politik di Penjara Sukamiskin.
Keluar dari Penjara Sukamiskin kebandelan Bung Karno tidak mereda. Orasi politiknya justru makin radikal. Kesal dengan ulah Bung Karno, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda akhirnya mengasingkan Bung Karno ke Endeh dan Bengkulu. Tapi pengasingan tidak menghentikan semangat juang Bung Karno. Dia terus berjuangan dengan berbagai cara menanamkan semangat antikolonialisme ke masyarakat Endeh dan Bengkulu. Sampai akhirnya pada 17 Agustus 1945, cita-cita besar Bung Karno melihat kemerdekaan negerinya tercapai.
Dari cerita kebandelan Bung Karno kita belajar bahwa setiap tindakan akan selalu mengundang risiko dan tanggung jawab. Hanya dengan konsisten perjuangalah maka cita-cita besar bisa diraih.