Senin 11 Nov 2013 00:09 WIB

Tahun 2017, Blok Mahakam Harus Ditangani Pertamina

Rep: Eko Widiyanto/ Red: Julkifli Marbun
The picture shows installation to process gas and condensate belongs to Total E&P Indonesie di Senipah, East Kalimantan. The company adds some more offshore installation in Mahakam block. (Illustration)
Foto: Antara/Yudhi Mahatma
The picture shows installation to process gas and condensate belongs to Total E&P Indonesie di Senipah, East Kalimantan. The company adds some more offshore installation in Mahakam block. (Illustration)

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Kontrak kerja sama penambangan minyak dan gas di blok Mahakam perairan Kalimantan Timur yang kini dikelola perusahaan asing Total SA dari Perancis Inpex Corporation dari Jepang, akan berakhir tahun 2017. Untuk itu, berbagai kalangan mendesak pemerintah tidak lagi memperpanjang KKS dengan operator asing. Namun diserahkan pada Pertamina sebagai satu-satunya BUMN pengelola minyak dan gas Indonesia.

"Tahun 2017, Blok Mahakam harus dikelola Pertamina," tegas tiga pembicara dalam seminar 'Kedaulatan Energi' di Fakultas Hukum Unoversitas Jenderal Seodirman (Unsoed) Purwokerto, Sabtu (9/11). Ketiga pembicara itu, terdiri dari Direktur  Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Faisal Yusra, dan pengamat energi Kurtubi.

Marwan menyebutkan, pemerintah saat ini pada prinsipnya ingin memperpanjang kontrak pengelolaan blok Mahakam dengan Total & Inpex. Hal ini antara lain dibuktikan dengan berbagai alasan mengenai pentingnya perpanjangan kontrak tersebut.

Antara lain, alasan yang menyebutkan bahwa Pertamina secara SDM, teknis dan keuangan dinilai tidak mampu mengelola Mahakam, Pertamina telah mengusai 47 persen blok migas nasional sehingga tidak perlu menguasai Mahakam, investor asing akan keluar dari Indonesia jika Pertamina kelola Mahakam, dan banyak alasan lain.

Bahkan pejabat SKK Migas, menyinggung soal cadangan gas tahun 2017 hanya tinggal 2 TCF (trillion Cubic Feet), sehingga tidak besar manfaatnya bila dikelola Pertamina.  

Terkait dengan berbagai alasan tersebut, Marwan menyebutkan,  semua alasan itu adalah tidak benar. Menurutnya, dalam hal kesiapan, Pertamina sangat siap mengelola blok Mahakam. Demikian juga berdasarkan kajian IRESS, kandungan gas di blok Mahakam masih mencapai 8 TCF.

"Dengan demikian, kita bisa menduga bahwa motivasi perpanjangan KKS dengan kontrak asing lebih dilatarbelakangi alasan lain. Bisa karena perburuan rente, dukungan politik, KKN dan alasan lain yang sifatnya subyektif," katanya.

Dia menegaskan, potensi keuntungan yang diperoleh negara bila blok Mahakam dikelola oleh Pertamina akan sangat besar. Menurutnya, selama 10 tahun terakhir Total dan Inpex mengelola blok tersebut, keuntungan bersih yang didapat kedua perusahaan itu dari Blok Mahakam, masing-masing mencapai 2 juta dolar per  atau sekitar US$ 1,4 miliar per tahun.

Dia menyebutkan, untuk biaya operasi, selama 10 tahun terakhir rata-rata masing-masing perusahaan asing tersebut mengeluarkan biasa 250 juta dolar AS. Namun karena blok tersebut sudah berproduksi, maka setiap bulan biaya tersebut dikembalikan lagi sebagai cost recovery. "Jadi tidak benar operator Blok Mahakam harus mampu menyediakan miliaran dolar AS," katanya.

Untuk itu, Marwan menyebutkan blok Mahakam saat ini sebenarnya sedang dalam masa panen raya. Panen raya tersebut, sudah berlangsung sejak tahun 2004 dan akan berlangsung hingga 2020. Setelah 2020, baru diperkirakan produksi gas dan minyak di blok itu menurun. "Karena itu, tahun 2017 Pertamina sebagai BUMN satu-satunya milik pemerintah, seharusnya bisa mengelola Mahakam," katanya. 

Penegasan tersebut, juga disampaikan Faisal Yusra. Bahkan dia menyatakan, selain blok Mahakam yang masa kontrak kerja samanya akan berakhir 2017, blok-blok lain yang KKS juga akan berakhir, harus dialihkan ke Pertamina.

Blok-blok yang akan habis masa kontraknya tersebut, antara lain blok Attaka (Inpex) yang akan habis masa kontraknya tahun 2015, North Sumatra Offshore B (Exxon Mobile) dan Attaka (Chevron) yang akan habis masa kontraknya tahun 2018,  Bula (Kalrez Petroleum) dan Seram Non Bula (Citic) yang habis masa kontraknya tahun 2019, serta South Jambi B (ConocoPhillips), Kepala Burung Blok A (Petrochina), Sengkang (Energy Equity), dan Makassar Strait Offshore Area A (Chevron) yang habis masa kontraknya tahun 2020.

"Kita mendesak, agar seluruh blok-blok tersebut, setelah habis masa kontraknya agar dikelola Pertamina. Dengan demikian, kedaulatan energi Indonesia terhadap kekayaan sumber energi yang kita miliki, bisa kembali sepenuhnya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement