Rabu 31 Jul 2013 23:57 WIB

Meraih Berkah Otonomi Daerah

Ilustrasi
Foto: pdk.or.id
Ilustrasi

Oleh: Subroto, Wartawan Republika

Kota Sawahlunto, Sumatera Barat terancam menjadi kota mati begitu aktivitas penambangan batubara surut akhir tahun 1999. Sejak tahun 1891 denyut kota itu memang dipicu oleh aktivitas tambang batu bara. 

Dengan  semakin meredupnya operasional PT Bukit Asam Unit Produksi Ombilin, seiring dengan menipisnya cadang batu bara, wajah Sawahlunto pun mulai muram. Puncak kelesuan terjadi mulai tahun 2000 an. Banyak penduduk yang eksodus dari kota kecil yang berpenduduk heterogen itu.

“Sejak batu bara habis, kota ini sudah seperti kota mati saja.  Banyak orang pindah karena tak ada yang bisa diharapkan lagi. Tapi sekarang kondisinya berubah total, Sawahlunto menjadi sangat maju dan dikenal dimana-mana,” kata Sunarsih (45 tahun) penduduk Sawahlunto.

Sunarsih menggambarkan, sekitar tahun 2003 orang bisa bermain bola di jalan protokol Sawahlunto, saking sepinya. Mulai Magrib, jalan-jalan kota sepi karena tak ada yang lewat.

Kini Sawahlunto sudah menjadi kota wisata. Pengembangan wisata dilakukan mulai dengan pembukaan museum stasiun kereta api, Tambang Mbah Soero, dan Gudang Ransoem. Kemudian tempat wisata lainnya seperti waterboom,  resor, kebun binatang, areal pacuan kuda, areal motocross, dan sebagainya.

Pada akhir pekan banyak wisatawan yang datang dari luar daerah. Kota itu tak sepi dari lalu lalang kendaraan sampai malam hari. 

Setiap sudut kota tua  peninggalan Belanda itu itu tertata rapi dan bersih. Survei sebuah majalah ibukota memilihnya sebagai kota kecil yang paling layak huni di Indonesia.

Perekonomian juga menggeliat. Pasar yang tadinya sepi ramai kembali. Pendapatan per kapita penduduknya kedua tertinggi di Sumatera Barat. Tak ditemukan peminta-minta di seantero kota. Tingkat kemiskinannya terendah kedua di seluruh Indonesia setelah Denpasar, Bali. Di bidang pendidikan, pengelolaannya dinilai yang terbaik di Sumatera Barat.

“Sawahlunto dulu sangat bergantung pada batubara.  Sekarang tanaman cokelat, karet, dan pariwisata menjadi andalan masa depan,” ujar Amran Nur, mantan walikota sawahlunto yang Mei lalu mengakhiri jabatannya.

Amran yang menjabat walikota Sawahlunto selama dua periode mulai tahun 2003 mengatakan, otonomi daerah memungkinkan ia sebagai pimpinan daerah untuk mengembangkan wilayahnya sesuai dengan karakteristiknya. Berkat otonomi daerah Sawahlunto bisa disulap dari kota mati menjadi kota wisata.

"Saya memfokuskan pada peningkatan pendapatan dulu. Kalau pendapatan meningkat maka masalah pendidikan, agama, dan kesehatan akan lebih gampang dikelola,” jelasnya.

Dengan otonomi daerah, kata Amran, ia bisa lebih leluasa mengurus daerahnya sesuai dengan kelebihan yang dimiliki Sawahlunto. "Yang lebih mengerti tentang persoalan daerah tentu adalah orang daerah itu sendiri, bukan orang pusat. Kita bisa merencanakan pembangunan sesuai dengan kemampuan yang kita miliki,” katanya.

Otonomi daerah, menurut Amran, memungkinkan daerah bisa membangun dirinya lebih maksimal. Sawahlunto pun menjadi satu dari 10 kota yang meraih penghargaan daerah otonomi terbaik tahun 2013 dari Kementrian Dalam Negeri.

Cerita sukses tidak hanya dialami oleh Kota Sawahlunto, tapi juga kota, kabupaten, dan provinsi lainnya. Daerah-daerah itu berhasil menjadi maju dengan mengatur dan mengurus urusannya sendiri.

Namun, di mata pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, secara umum penerapan otonomi daerah belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Penyebabnya, sistem yang diberlakukan belum bisa direspons dan dilaksanakan seperti harapan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Kendati demikian, Siti mengakui ada sejumlah daerah yang berhasil meraih kemajuan sesuai dengan tujuan otonomi daerah. Keberhasilan itu menurutnya lebih dikarenakan pimpinan daerah tersebut mampu melakukan terobosan-terobosan  dan melawan kebekuan birokrasi yang terjadi selama ini.

“Peran pemimpin daerah ini sangat besar. Mereka yang berhasil mampu menggerakkan daerah dan punya niat melakukan terobosan-terobosan,” kata Siti.

Siti menyebut sebagai contoh, Fadel Muhammad dan Gamawan Fauzi sebagai pemimpin daerah yang mampu melakukan terobosan sehingga otonomi daerah bisa mencapai tujuannya. Antara lain meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Otonomi daerah juga menghasilkan figur-figur yang dianggap mampu menjadi alternatif pemimpin Indonesia di masa depan. Survei yang dilakukan Lembaga Pol-Tracking Institute menunjukkan hal itu. Survei dilakukan sepanjang Januari-April 2013 dengan menyeleksi 100 kepala daerah terbaik (berprestasi). Dari jumlah itu diseleksi 14 terbaik (memiliki potensi leadership skill) melalui metode FGD 100 juri (opinion leaders) melalui wawancara langsung/tidak langsung pengisian kuesioner.

Hasilnya, ada tujuh tokoh daerah yang potensial. Mereka yang menjadi pilihan juri ini adalah Joko Widodo (nilai 82,54), Tri Rismaharini (76,33), Fadel Muhammad (70,38), Syahrul Yasin Limpo (70,31), Isran Noor (70,14), dan Gamawan Fauzi (70,00). Mereka ini dinilai layak dipertimbangkan sebagai menu tambahan referensi alternatif kepada publik dan partai politik dalam proses penjajakan kandidat presiden/wakil presiden 2014.

Siti Zuhro menyarankan, sebaiknya kepala daerah lain mengikuti contoh sukses pimpinan daerah yang berhasil menerapkan otonomi daerah. Mengingat pentingnya kualitas pemimpin daerah ini menurutnya pemilihan kepada daerah (pilkada) menjadi sangat krusial untuk memilih pemimpin yang berkualitas, amanah, dan mampu mengangkat daerahnya lebih maju.

"Tidak bisa lagi dipilih pemimpin yang linear, yang biasa-biasa saya. Harus orang yang mampu melakukan perubahan,” katanya.

Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Isran Noor, yakin pelaksanaan otda mampu mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat. Meski baru berjalan sekitar 11 tahun, katanya, pelaksanaan otda telah membawa dampak positif bagi masyarakat daerah.

"Penerapan otonomi daerah kini makin baik, namun belum maksimal. Hal itu karena pemerintah pusat seperti belum rela daerah-daerah mengambil kebijakan sendiri,” kata Isran Noor yang juga Bupati Kutai Timur itu dalam satu kesempatan.

Sedangkan Amran Nur mengakui penerapan otonomi daerah memang belum sempurna. Sistemnya menurutnya, perlu lebih diperbaiki sehingga selaras antara kepentingan pusat dan kepentingan daerah. Masih ada tarik-menarik antara kepentingan pusat dan daerah. Hal-hal yang seperti ini perlu selesaikan.

"Disana-sini memang masih ada kelemahan. Sistemnya memang harus terus diperbaiki. Tapi bagaimanapun otonomi daerah ini telah menimbulkan berkah bagi daerah,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement