Senin 17 Sep 2012 19:40 WIB

Mempersubur Terorisme

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Ikhwanul Kiram Manshuri 

Bagi orang Islam, sebagaimana ditegaskan dalam Alquran (QS 06:162), “Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” 

Dalam konteks seperti itulah, Nabi Muhammad SAW, Alquran, hadis, dan seterusnya yang terkait dengan akidah, dianggap sakral oleh umat Islam. Penghinaan kepada hal-hal itu dinilai telah merendahkan dan melecehkan harga diri. Umat Islam akan rela mengorbankan se galanya untuk membela kesucian agama Islam. 

Aksi unjuk rasa umat Islam di berbagai negara saat ini harus dibaca dari sudut pandang seperti itu. Mereka merasa telah dihina dan dilecehkan oleh film berjudul “Innocence of Muslims” yang diproduksi oleh seorang warga Amerika Serikat (AS). Film ini menggambarkan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin sekelompok pria yang haus darah dan seorang yang suka perempuan. 

Padahal, bagi umat Islam, Nabi Muhammad SAW adalah sang junjungan, sang kekasih, sang nabi besar, dan sang teladan. Segala perbuatan, perkataan, dan tindakan beliau adalah teladan yang harus diikuti dan dicontoh. 

Ketika nama Nabi Muhammad SAW disebut, umat Islam disunahkan mengikuti dengan perkataan “shallahu alaihi wasallam”- dalam tulisan disingkat SAW. Artinya, shalawat dan salam semoga terus mengiringi beliau. Untuk menjaga kesucian Nabi Muhammad SAW, bahkan para ulama telah memfatwakan haram hukumnya mengimajikan beliau di dalam gambar, film, drama, patung, dan lainnya. 

Karena itu, bisa dimaklumi bila reaksi umat Islam sangat keras. Protes menentang film anti-Islam ini kini telah menyebar tidak kurang di 18 negara, termasuk di Australia dan Inggris. Minimal delapan warga dikabarkan telah meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka dalam demonstrasi besar-besaran di Mesir, Tunisia, Sudan, Lebanon, dan Lybia. Selain itu, empat warga AS juga telah menjadi korban tewas dalam kerusuhan yang terjadi di Konsulat AS di Benghazi, Lybia, termasuk Duta Besar AS untuk Lybia, J Christopher Stevens. 

Yang menjadi sasaran bukan hanya kedutaan besar AS, melainkan juga sejumlah kedutaan negara-negara Eropa, seperti Jerman, Inggris, dan Swiss. Karena itu, saya khawatir protes film anti-Islam ini bukan hanya sebagai isyarat penolakan terhadap penistaan kepada agama Islam, namun lebih jauh lagi, yaitu kebencian terhadap AS. Bahkan, berkembang menjadi kebencian kepada negara-negara Barat secara keseluruhan. 

Presiden AS Barack Obama dan sejumlah pemimpin Eropa memang sudah menegaskan pemerintahan mereka tidak bertanggungjawab terhadap pembuatan dan peredaran film tersebut. Menurut mereka, di alam demokrasi Barat, anggota masyarakat bebas melakukan apa saja, termasuk berkreasi dalam karya seni tanpa ada campur tangan dari pemerintah. Yang menjadi ironis kemudian adalah bila kebebasan ini juga termasuk berkreasi untuk membuat atau memproduksi karya-karya yang bahkan menghina suatu agama. 

Logika seperti itu tentu susah dicerna. Sebab, kebebasan bukan untuk kebebasan itu sendiri. Kebebasan bukan berarti bebas nilai yang orang-perorang bebas melakukan apa saja. Kebebasan harus mengandung nilai. Kebebasan harus disertai dengan tanggungjawab. Di sinilah perlunya negara campur tangan, lewat aparat keamanan dan hukum, manakala ada penyalahgunaan kebebasan. Penyalahgunaan kebebasan yang merugikan kelompok atau orang lain. Apatah lagi bila kebebasan itu menyangkut pelecehan terhadap hak asasi orang lain, misalnya, pelecehan terhadap akidah atau suatu agama. 

Merujuk kepada peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya, pembuatan film “Innocence of Muslims” ini tampaknya bukanlah suatu kebetulan yang berdiri sendiri. Ia sepertinya sudah di rencanakan. Lihatlah yang sudah diperbuat oleh kartunis Denmark Kurt Westergaard. Dalam 12 kartunnya yang dimuat di harian Denmark, Jyllands-Posten, akhir September 2005, ia menggambarkan Nabi Muhammad SAW sebagai teroris dan maniak kepada perempuan. 

Lihat pula yang sudah dilakukan politikus Belanda, Geert Wilders. Dalam film “Fitna” yang dirilis pada 2008, ia munuduh Alquran sebagai penghasut kekerasan. Ia juga menyamakan Islam dengan Meinc Kampf Adolf Hitler. 

Saksikan juga bagaimana pendeta Amerika, Terry Jones, membakar Alquran di depan gereja Dove World Outreach Center, Gainesville, Florida, April 2010. Penghinaan terhadap kitab suci umat Islam itu di saksikan 20 pengikutnya dan diliput luas media massa. Juga pembakaran Alquran oleh sejumlah tentara Amerika di Afghanistan beberapa bulan lalu. 

Sebelumnya, pada 1988, novelis Inggris kelahiran India, Salman Rushdie, juga telah meluncurkan novel The Satanic Verses. Ia menyebut Alquran sebagai kerja dari setan. 

Apa yang disebut di atas hanya sebagian dari contoh perbuatan anggota masyarakat Barat yang dianggap menghina umat Islam. Setiap kali muncul penghinaan itu, akan selalu diikuti pula dengan demonstrasi besar-besaran anti- Amerika, Israel, dan Barat secara keseluruhan. 

Saya khawatir, bila hal-hal seperti ini terus berlanjut, ke depan kita akan sulit membangun pergaulan yang penuh kedamaian nan harmonis antarbangsa dan antarpemeluk agama yang berbeda. Kebencian terhadap Barat akan terus meningkat. Sebaliknya, Islamofobia di kalangan masyarakat Barat juga akan terus berkembang. 

Bahkan, rasa kebencian yang terus menerus terpupuk bukan mustahil akan mempersubur benih-benih terorisme. Bukankah penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW juga merupakan teror terhadap akidah umat Islam?  

sumber : resonansi
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement