Selasa 21 Jun 2011 16:00 WIB

Soal Revisi UU MK, DPR Menambah Referensi 'Mistrust' Publik

Rep: C13/ Red: Djibril Muhammad
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta.
Foto: kpu.jabarprov.go.id
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dekan FH Universitas Airlangga (Unair), Muchammad Zaidun, menilai DPR mengkhianati produk hukum yang dibuatnya sendiri. Hal itu mengingat sesuai UU 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan UU, tahapan sebelum disahkan harus disampaikan ke publik untuk meminta masukan selama 30 hari.

Sementara DPR, kata dia, tak melakukannya dan secara tiba-tiba bersegera merevisi UU MK. "Jika diteruskan DPR bisa menambah referensi mistrust publik ke lembaga negara," terang Zaidun, Selasa (21/6).

Karena terlanjur disetujui di sidang paripurna, menurut Zaidun, tak ada pilihan lagi. Produk UU baru buatan DPR harus lebih berkualitas. Padahal kualitas itu hanya bisa didapat jika mereka mau menerima masukan perbaikan dari publik. "DPR bernostalgia dengan produk UU zaman penjajah," ujarnya.

Zaidun mengkritisi, model pergantian ketua MK setiap 2,5 tahun yang tak lazim. Hal itu hanya berlaku di dunia organisasi dengan model kepemimpinan presidium yang bersifat giliran. Dijelaskannya, kepemimpinan di MK itu berbeda, sebab otoritas ketua bukan penentu kebijakan.

Apalagi pengangkatan masa jabatan ketua MK itu diatur dalam konstitusi. Jika dipaksakan, maka pergantian ketua MK menjadi satu-satunya lembaga negara di Indonesia. Hal itu jelas bertentangan dengan amanah UU yang menyatakan, pengangkatan ketua MK itu sama dengan memberi kepercayaan penuh hingga akhir periode.

"Ini yang harus dipertanyakan. Apa dasarnya DPR mengubah itu semua?," tanyanya.

Sementara Dekan FH Universitas Hasanuddin (Unhas), Aswanto, menyebut tindakan DPR merevisi UU MK menandakan kekuasaan masih berkuasa di negeri ini. Hukum, kata dia, semata-mata digunakan alat untuk mempertahankan kekuasaan atau keinginan para elit.

Sesuai periodisasi, ucap Aswanto, pergiliran masa jabatan ketua dijadikan peluang DPR untuk menutup karir hakim tertentu di MK yang dirasa tak bisa diajak kompromi. "Ini menandakan politik hukum ortodoks, bukan hukum responsif. Harusnya hukum jadi nilai-nilai hidup demi kebaikan bersama, bukan kelompok tertentu," kata Aswanto menjelaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement