Sabtu 06 Jun 2015 05:20 WIB

Blatter Saja Malu

Presiden FIFA Sepp Blatter
Foto: Steffen Schmidt, Keystone via AP
Presiden FIFA Sepp Blatter

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fernan Rahadi

Twitter: @fernanrahadi

Kabar itu datang bak petir di siang bolong. Sepp Blatter, yang baru saja terpilih sebagai presiden FIFA empat hari sebelumnya, resmi mengundurkan diri dari jabatannya tersebut, Selasa (2/6) malam waktu Indonesia.

"Saat menerima mandat dari para anggota FIFA, saya merasa saya tidak mendapat mandat dari seluruh dunia sepak bola, fan, para pemain, klub, serta orang-orang yang hidup, bernafas, dan mencintai sepak bola."

Itulah salah satu pernyataan Blatter dalam pidato pengunduran dirinya. Pernyataan yang mengejutkan memang. Apalagi, pada Kongres FIFA ke-65 di Zurich 29 Mei lalu, secara meyakinkan Blatter kembali mencalonkan diri untuk kelima kalinya secara berturut-turut setelah berkuasa 17 tahun.

Diduga kuat, pengunduran diri Blatter disebabkan tengah berlangsungnya penyelidikan terkait dugaan korupsi di tubuh badan tertinggi sepak bola dunia tersebut. Hanya dua hari sebelum kongres, sebanyak tujuh petinggi FIFA ditangkap karena dugaan skandal korupsi senilai 150 juta dolar AS. Kemudian pada hari yang sama dengan mundurnya Blatter, diungkap keterlibatan Sekjen FIFA, Jerome Valcke dalam skandal suap untuk mengamankan Afrika Selatan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010.

Blatter, lewat putri tunggalnya, memang menyangkal tudingan tersebut. Akan tetapi sudah bukan rahasia jika banyak pihak sudah mendesaknya untuk mundur. Bukan sembarang orang melainkan tokoh-tokoh yang sudah malang-melintang di dunia sepak bola, sebut saja Presiden UEFA, Michel Platini, dan para legenda sepak bola seperti Romario dan Luis Figo.

Tak hanya para tokoh, publik sepak bola pun kerap bersuara meskipun hanya berbentuk keluhan di berbagai media massa dan media sosial. Agaknya, tekanan demi tekanan itulah yang pada akhirnya membuka nurani Blatter sehingga berujung pada keputusannya mengundurkan diri.

Peristiwa besar tersebut seharusnya bisa menjadi contoh kasus serupa yang terjadi di dalam negeri. Maklum, pada saat yang hampir bersamaan PSSI, yang merupakan induk organisasi sepak bola Indonesia, juga memperoleh tekanan yang serupa oleh publik sepak bola dalam negeri.

Bahkan, pemerintah terpaksa turun-tangan dengan cara membekukan PSSI pada 18 April lalu. Namun, yang mengherankan, para petinggi PSSI seolah tak peduli dengan tindakan tersebut. Mereka tetap menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) yang akhirnya mengukuhkan La Nyalla Mattalitti sebagai ketua umum.

Saat itu, La Nyalla menyatakan tak akan mematuhi keputusan Surat Keputusan pembekuan oleh pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dengan dalih mereka sudah mendapatkan pengakuan dari FIFA. Beberapa hari setelahnya, muncul foto-foto La Nyalla yang duduk semeja dengan Blatter, sinyal bahwa pria asal Swiss itu mengakui kepengurusan PSSI pasca-KLB.

Kini, dengan mundurnya Blatter, sudah selayaknya bagi PSSI melakukan introspeksi diri. Orang yang berada di pucuk rezim yang selalu melindungi mereka kini telah mengundurkan diri. Ditambah lagi, Indonesia sudah resmi mendapatkan sanksi FIFA per 30 Mei lalu sehingga praktis tak ada lagi kegiatan yang bisa dilakukan La Nyalla dan kawan-kawan.

Sudahlah wahai para pejabat PSSI. Blatter saja merasa malu dan berani melangkah mundur setelah rezimnya melakukan sejumlah kerusakan di tubuh FIFA. Bagaimana dengan kalian? Apakah urat malu anda sekalian sudah putus?

Sejelek-jeleknya Blatter dan geng yang berkuasa di FIFA saat ini, mereka masih berjasa memopulerkan sepak bola sebagai cabang olah raga paling terkenal di muka bumi. Bagaimana dengan anda para pejabat PSSI yang selalu gagal membawa Indonesia menelurkan prestasi?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement