Selasa 07 Apr 2015 05:46 WIB

Agenda Besar di Balik Konflik Yaman

Asap tampak dari terbakarnya situs militer melalui serangan udara di Sanaa, Yaman.
Foto: Reuters
Asap tampak dari terbakarnya situs militer melalui serangan udara di Sanaa, Yaman.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah

Meminjam analisis dari pendiri WikiLeaks, Julian Assange, instabilitas di Timur Tengah dan terakhir munculnya ISIS, adalah produk ‘petualangan Amerika Serikat. Ini merujuk sejumlah data kabel rahasia dan laporan intelijen yang berhasil ia kantongi. Agenda besar itu memang bertujuan untuk merusak tatanan kehidupan masyarakat di kawasan itu.

Dan sangat memungkinkan, kegaduhan di kawasan ini sengaja diciptakan untuk mengalihkan perhatian negara Arab dari penjajahan Israel atas bumi Palestina. Di sisi lain, peperangan demi peperangan itu tentu berimbas pada hancurnya situs-situs bersejarah yang menjadi identitas dan penghubung suatu peradaban dengan akar sejarah mereka.

Coba kita perhatikan seksama Arab Spring yang berlangsung kurang lebih tiga tahun dan berujung pada konflik berdarah sesama saudara Muslim itu. Hubungkan satu sama lain, akan kita dapati benang merah bahwa revolusi tersebut berlangsung di pusat-pusat peradaban Islam.

Di bawah Dinasti Abbasiyah, Baghdad pernah mencapi masa kegemilangannya selama kurang lebih lima abad. Capaian di berbagai bidang sukses ditorehkan. Suriah berjaya di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah pada abad pertengahan. Libiya juga demikian. Negara yang kini disibukkan dengan perang saudara itu, konon adalah pusat penyebaran Islam di kawasan Afrika.

Dan sekarang giliran Yaman. Mengapa Yaman? Ada banyak alasan saya kira. Yaman adalah negara para nabi. Di kawasan inilah peradaban Islam kokoh berdiri. Di negara yang dulu lebih dikenal dengan sebutan al-Ahqafitu, para nabi berdakwah untuk kaumnya menyebarkan ajaran tauhid.

Ibnu Hisyam al-Humairi dalam kitab at-Tijan fi Muluk Hamir menyebutkan, menurut mayoritas ahli sejarah, salah satu nabi yang pernah berdomisili di Yaman ialah Nabi Hud AS, beserta putra dan cucunya, yaitu Nabi Hadun dan Liyan bin Hadun. Hud dimakamkan di Yaman di daerah yang bernama al-Haniq, samping Sungai al-Hafif.

Sungai tersebut mengeluarkan air tawar dan menyuburkan buah-buahan, saat Allah SWT tunjukkan tanda-tanda kenabian Hud. Sampai sekarang sungai tersebut masih aktif. Alquran mengabadikan kisah Hud tersebut dalam surah al-Ahqaf ayat 21. Selain Hud AS, Nabi Shalih juga dimakamkan di Yaman menurut klaim sejumlah pakar sejarah, demikian juga Nabi Hanzhalah, dan Nabi Jarjis.

Pola penciptaan konflik di Yaman, kasusnya tak jauh beda dengan apa yang terjadi di negara-negara Arab lainnya dengan membenturkan antara dua kubu internal Muslim, yakni Sunni dan Syiah. Ironisnya, dalam konflik Yaman, aliansi Arab lebih memilih memerangi saudaranya seakidahnya sendiri—terlepas dari beragam kompleksitas perdebatan Sunni dan Syiah—ketimbang bersatu melawan musuh bebuyutan mereka, Israel.

Satu hal yang mengundang pertanyaan besar, pertama kali dalam sejarah, seperti dikutip dari //Global Search//, jet-jet tempur Israel, terlibat dalam penyerangan Yaman. Pernyataan ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Partai Politik al-Haq, Yaman. Ada apa ini?

Jauh sebelum Arab Spring meletus, benturan Sunni-Syiah mengundang keprihatinan banyak cendekiawan. Prof Musthafa ar- Rifa’i lewat karnyanya yang bertajuk Islamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa asy-Syi’ah, menegaskan perpecahan yang kini meradang antara Sunni dan Syiah lebih diakibatkan oleh faktor eskternal.

Jadi bukan perpecahan faksi dalam akidah dan internal umat. Pengaruh politik yang sporadis dan strategi pecah belah umat oleh para musuh Islam terutama Zionis merupakan faktor yang membuat Syiah dan Sunni membuat jarak. Politik dan konspirasi devide et impera (politik memecah belah) yang diterapkan oleh protokol kaum Zionis yang hendak memecah belah umat.

Perpecahan faksi dan sekte yang tumbuh berkembang di internal Muslim, digunakan sebagai momen membenturkan dan mengadu domba berbagai kelompok itu. “Mereka (Zionis) menginginkan kita berseteru,’’ tulis ar-Rifai’i.

Menurut tokoh kelahiran Tripoli, Libanon pada 1924 itu, upaya rekonsiliasi bukan tidak pernah dilakukan sama sekali, tetapi justru ikhtiar menuju persatuan itu terus ditempuh. Secara formal Al-Azhar Mesir telah membentuk forum yang diberi nama Jama’at at-Taqrib Bain  al-Madzahib al-Islamiyyah.

Lembaga yang berada di bawah koordinasi langsung institusi Al-Azhar tersebut diperuntukkan sebagai wadah dialog, komunikasi, dan perumusan berbagai persoalan penting yang menyangkut aspek-aspek yang bisa dipertemukan di antara kedua kubu itu.

Sejumlah nama penting pun terlibat di dalam lembaga yang juga difungsikan untuk memetakan dan memecahkan sejumlah masalah yang diperselisihkan keduanya. Di antaranya, Syekh Abdu Majid Salim, Syekh Mahmud Syaltut, Sayyid Muhammad Taqiy al-Qammy, dan Syekh Muhammad al-Madani.

Aktivitas lembaga itu tergolong efektif mengurai benang kusut yang selama muncul di permukaan. Semangat persatuan, toleransi, dan mengesampingkan perbedaan mendasari efektivitas lembaga itu. Hasilnya cukup fantastis dan layak diapresiasi.

Forum tersebut berhasil merekomendasikan berbagai kebijakan. Di level media komunikasi dan publikasi, lembaga itu memprakarsasi terbitnya sebuah majalah, Al-Islam. Majalah tersebut menjadi corong efektif ke masyarakat Muslim di Mesir guna memberikan pemahaman tentang pentingnya persatuan umat.

Di sisi lain, forum ini berhasil menghasilkan sebuah kebijakan yang monumental. Forum merekomendasikan untuk memasukkan materi fikih bermazhab Syiah ke dalam kurikulum di berbagai tingkatan yang berada di bawah Al-Azhar.

Gagasan progresif yang belum pernah ditempuh di masa itu. Lantas sampai kapan kita termakan adu domba itu? Atau memang kita lebih suka memusuhi saudara seakidah sendiri, ketimbang musuh yang kasat mata memerangi kita? Atau dengan beragam pembenaran kita, darah sesama Muslim dengan mudah kita halalkan? Allahul musta’aan wa ‘alaihittuklan.     

 

   

 

 

         

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement