Sabtu 28 Oct 2017 04:00 WIB

Efektifkah Kebijakan Satu Harga BBM?

Ketua YLKI Tulus Abadi
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Ketua YLKI Tulus Abadi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI

Kesenjangan infrastruktur antara Jawa dengan non-Jawa, khususnya Indonesia bagian timur, bak bumi dan langit. Karena itu, upaya Presiden Joko Widodo melakukan percepatan pembangunan infrastruktur di pojok Indonesia bagian timur itu, bisa dìmengerti.

Kapan lagi mereka merasakan terangnya aliran listrik setelah 72 tahun Indonesia merdeka? Faktanya, rasio elektrifikasi di Indonesia bagian timur masih rendah. Pun upaya Presiden mewujudkan kebijakan satu harga untuk bahan bakar minyak (BBM), patut diapresiasi.

Rasanya sungguh tidak manusiawi, jika di Kabupaten Jaya Wijaya, misalnya, satu liter Premium harus dibeli dengan harga Rp 50 ribu. Di manakah letak keadilan dan kehadiran negara? Pemerintah menargetkan 150 titik area yang akan terkena kebijakan satu harga BBM, khususnya di wilayah Papua, Sulawesi, dan Maluku. Saat ini sudah terwujud di 26 titik, dari target 50 titik pada 2017.

Guna mewujudkan kebijakan satu harga tersebut diperlukan biaya yang tidak sedikit, yang di-handle oleh PT Pertamina. Konon PT Pertamina telah menggelontorkan biaya tambahan sebesar Rp 800 miliar, dari total target biaya sebesar Rp 3 triliun. Wow! Sebuah angka nominal yang tidak sedikit, bahkan fantastis. Namun, kebijakan satu harga tetap harus kita sorot, bagaimanakah implementasinya, apakah efektif mengendalikan harga BBM ke angka normal?

PT Pertamina diminta membangun agen atau penyalur resmi di daerah yang terkena kebijakan satu harga. Bak operasi pasar sembilan kebutuhan pokok (sembako), mulanya cara ini efektif untuk menurunkan harga bahan bakar minyak di daerah tersebut. Namun, dalam hitungan jam pasokan BBM di agen resmi ludes diborong para pengecer dan petugas tidak bisa berbuat banyak atas fenomena tersebut.

Akibatnya, saat di agen resmi stoknya habis karena diborong, tetapi stok bahan bakar minyak di pengecer tidak resmi malah melimpah. Dan, harganya jauh lebih tinggi dibanding dengan harga bahan bakar minyak di agen resmi.

Dana puluhan miliar ludes dalam sekejap dan hanya menguntungkan (memperkaya) pihak tertentu saja. Padahal jika dilihat dari sisi regulasi, Undang-Undang No 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas, penjualan minyak dan gas harus mengantongi izin dari pemerintah (Pasal 23).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement