Ahad 19 Feb 2017 09:53 WIB

Rumus Irving Fisher, Repelita Suharto: Rumah Miskin tanpa DP?

Rumah Semi Permanen Terus Bermunculan. Eretan digunakan warga Kampung Akuarium untuk berhubungan dengan Kampung Luar Batang pascapenggusuran, Jakarta, Kamis (15/9).
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Rumah Semi Permanen Terus Bermunculan. Eretan digunakan warga Kampung Akuarium untuk berhubungan dengan Kampung Luar Batang pascapenggusuran, Jakarta, Kamis (15/9).

Djoko Edhi Abdurrahman*

Saya yakin Sandi Uno sudah benar. Tak bisa dikomentari sebuah business plan. Dan business plan memang tak boleh terbuka. Itu dapur. Terbukanya pada presentasi executive summary. Itu pun tak semua. Sebagian kunci tetap menjadi rahasia.

Saya saksikan tampaknya sudah dihitung dalam bentuk schema keuangan oleh Sandi Uno. Bisa nol, jika ada subsidi awal atau penjamin dalam bentuk likuiditas. Dont payment itu bisa dimasukkan ke municipal bond. Selesai. Atau pemerintah menyediakan risk sharing.

Bahkan, jika berani, buat saja seperti Subprime Mortage di Amerika yang lalu membuat Amerika bangkrut 2008, dan Lehman Brothers gulung tukar. Praktiknya, utang perumahan itu dijual, dan berbagai bentuk saham, beranak pinak. Jadi, rumah orang miskin itu tinggal membinding dengan yang mid high. Jual.

Yang dikemukakan Agus Marto wardoyo itu aturan organik secara ekonomi makro. Jelas jadi beban kepada perbankan. Sejak problem NPL hingga IRR. Tentu jika mekanismenya perbankan penuh. Jika disilang, hilang pengaruhnya. Sebab, total expenditure untuk rumah miskin itu sangat kecil dibanding volume arus uang Jakarta. Kalau mekanismenya memggunakan pasar modal, tak ada pengaruhnya ke ekonomi makro. Tak memengaruhi NPL, dlsj. Hanya di mana-mana di dunia yg namanya penanggulangan orang miskin (development trap) selalu menggunakan risk sharing. Secara neo classi,lalu neo keynesian, juga begitu. Penanggulangan korban kapitalisme harus ditanggulangi oleh system kapitalisme itu sendiri.

Tak sulit membuat DP itu Nol. ADB dan UNDP mau menanggulangi itu utk tenor 30 tahun. Orde Baru banyak yang begitu. Bahkan neraca keuangan negara disubsidi dengan tenor jangka panjang.

Contoh soal. Para strukturalisme menetapkan I =:S. I adalah investasi yaitu pembangunan, sedang S adalah savings alias tabungan. Menurut mazhab strukturaslisme, S = I tak bisa ditawar. Kalau mau membangun harus ada duitnya dulu untuk membiayai pembangunan itu. Jadi ngumpulin duit dulu atau menabung.

Bertemulah Presiden Soeharto dengan Bank Dunia (WB) dan Dana Monetary International (IMF) dan IGGI di awal repelita. Yaitu tadi, IMF mengemukakan rumus Irving Fisher itu. I dan S harus sama. Ringkasmya menurut dalil Neo Classic II itu kalau mau membangun, menabung dahulu. Pembangunan yang dapat dibangun sebesar savings-nya. Dijawab oleh Presiden Soeharto,

"Jangankan tabungan, banknya saja kami tak punya," kata Soeharto. "Kalau begitu dalilnya, kapan kami baru bisa membangun. Saudara ahlinya, tolong dipecahkan."

Dari situ dikenalkan model anggaran berimbang dinamis yang menyimpang dari pakem akuntansi. Utang jangka panjang soft loan dimasukkan ke dalam modal. IGGI bertugas mencari soft loan bertenor 30 tahun.

Apa bedanya dengan masalah rumah miskin itu? Sama persis. Pengelolaan pembangunan sekarang ini, kesulitannya tak ada apa-apanya dibanding Pelita (Repelita: Rencana Pembangunan Lima Tahun) 1 dan 2. Sudah pisang bakubak. Makanya sulit menerima kegagalan pembangunan oleh rezim kini yang malah berkali lipat rajinnya berutang hingga dua ribu triliun tiap tahun, tapi cuma mampu mengurangi 250 ribu orang miskin.

Kembali ke progran rumah miskin nol DP, bagi perencana keuangan sih mudah. Faktor determinasinya adalah goodwill pemerintah. Bikin ala Rockefeller Foundation maupun ala Lehman Brothers juga sangat bisa. Atau lebih ekstrem menumpang di margin trading seperti di Shanghai. Tanpa mengikutkan duit APBN

 

*Djoko Edhi Abdurrahman, Mantan Anggota DPR RI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement