Selasa 14 Feb 2017 06:07 WIB

Membangun Ruh Demokrasi dalam Pilkada Serentak 2017

Red: M.Iqbal
Pengendara sepeda motor melintas di dekat baliho sosialisasi Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 di Jakarta, Jumat (10/2).
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Pengendara sepeda motor melintas di dekat baliho sosialisasi Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 di Jakarta, Jumat (10/2).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Rizki Iramdan Fauzi *)

Menjelang semarak pesta rakyat dalam upaya menyukseskan Pilkada Serentak 15 Februari 2017, banyak fenomena yang muncul. Kemunculannya diprakarsai oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. 

Selain itu, praktik-praktik kecurangan Pilkada mulai bertebaran menghiasi. Dimulai dari kampanye hitam, KTP-el ganda, dan adanya kongkalikong penyelenggara pilkada. 

Bahkan kreativitas dalam kecurangan meningkat, tidak hanya dilakukan oleh para kontestan dan tim sukses, namun melibatkan oknum KPU daerah hingga pemerintah. Praktik seperti ini rupanya tak pernah lepas dari iklim demokrasi Indonesia. 

Hampir setiap pesta rakyat digelar, kecurangan tersebut selalu terjadi. Modus yang masih sama, yakni semata-mata memenuhi kepuasaan semu dalam bentuk bagi-bagi kaos, uangm dan sembako kepada warga yang bertujuan demi menyukseskan salah satu paslon.

Sayangnya tindakan tersebut melanggar asas pemilu dan etika demokrasi. Apalagi, pada masa tenang ini, masih terdapat tangan-tangan usil yang menyerang sesama calon. 

Padahal seharusnya momen-momen ini menjadi bahan renungan dan pertimbangan rakyat untuk memilih pemimpin yang mampu menyelesaikan problem Indonesia, khususnya di 101 wilayah peserta Pilkada Serentak 2017. 

Tulisan singkat ini akan memaparkan bagaimana mewujudkan pesta rakyat yang berkualitas dan tetap menjunjung asas-asas pemilu untuk mewujudkan pilkada yang aman, damai, dan tentram. Harapannya agar pemilih baik pemula maupun dewasa tidak terjebak dengan berbagai macam praktik kecurangan, istilahnya kembali membangun ruh demokrasi melihat pemilu menjadi salah satu indikator prinsip-prinsip demokrasi.

Semua kalangan begitu mengidamkan pesta rakyat kali ini diwarnai antusiasme warga untuk menggunakan hak pilih, tidak golput, dan tetap damai hingga penyelenggaraan pemilu usai. Terpenting, semua kalangan baik kontestan, tim sukses, penyelenggara pemilu dan masyarakat tetap memegang teguh asas pemilu LUBER JURDIL “Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia serta  Jujur, Adil”.

Semarak politik menjelang pilkada seolah menjadi sandiwara demokrasi yang tak kunjung usai. Isu SARA terus mengakar dalam setiap momen-momen sebelum pesta rakyat digelar.

Maka mulailah bertebaran istilah Islam garis keras, antikebinekaan, sikap plin-plan pemerintah, dan isu terkait pernyataan memilih atas dasar agama melanggar atau tidaknya konstitusi menghias jagat media negeri dan dipandang sebagai black campaign.

Anehnya fokus dan lokus atmosfer seperti ini terpusat hanya di Pilkada DKI Jakarta dan diklaim sebagai sumber kegaduhan politik. Ini lantaran status Jakarta sebagai ibu kota yang menggambarkan sebagian pelaksanaan politik Indonesia. 

Jejak demokrasi 

Apabila kembali kita memaknai jejak-jejak demokrasi, pemilu menjadi ajang pesta rakyat dan bentuk ekspresi negara penganut demokrasi. Sudah saatnya kita memutus berbagai macam penodaan demokrasi dan kembali mewujudkan konsolidasi demokrasi. 

Berbagai macam kecaman, hujatan dan istilah tak layak mengenai upaya melemahkan eksistensi demokrasi harus diminimalisasi. Bentuk tuduhan terkait intoleran, mengancam Pancasila, dan memecah belah persatuan menjadi PR semua kalangan. Disusul isu hoax, money politics, black campaign yang ikut mewarnai riuh rendah pilkada menjadi momok terbesar bagi atmosfer demokrasi di negeri ini harus diperangi oleh semua.

Robert A. Dahl dalam bukunya "On Democracy" mengemukakkan karakteristik hakekat demokrasi salah satunya pemilihan yang bebas dan fair. Lalu, Profesor Mirriam Budiardjo memaparkan bahwa pemilu yang bebas menjadi ciri demokrasi konstutusional. 

Hal ini menjadi patokan negara-negara demokrasi wajib menerapkan kebabasan dan sikap fair (tidak memihak, sportif dan adil) dalam pesta rakyat tahunan. Terutama bagi kelas-kelas menengah ke atas yang sudah membekali pendidikan demokrasi dan paham dinamika politik negeri sudah sepatutnya menghindari kecurangan dalam demokrasi. Berbeda dengan kalangan kelas bawah yang selalu tergiur akan rayuan semu menjelang pemilihan perlu dicerdaskan.

Salah satu tugas bersama untuk mewujudkan demokrasi substansial dalam rangka konsolidasi demokrasi adalah mengokohkan ruh demokrasi yang sempat melemah. Istilah ini mengindikasikan selama ini yang berjalan hanya pada tatanan demokrasi elektoral salah satunya terselenggaranya pemilu. 

Namun pada tahap demokrasi substansial masih banyak kecacatan karena kecurangan dalam pemilu telah mendarah daging dan seolah-olah menjadi agenda rutin tahunan. Untuk mengembalikkan dan membangun ruh demokrasi dapat diawali dengan pagelaran pesta rakyat pilkada serentak secara bebas dan fair.

Hak pilih

Usahakan kita tidak golput. Karena satu suara warga sangat berharga dibanding seribu pemilih golput. Bahkan disebut sebagai pihak pecundang karena menjadi warga yang tidak ikut campur menentukan praktik politik dan pemerintahan beberapa tahun kedepan. 

Berdasarkan data KPU, pada penyelenggaraan pilkada serentak 2015 angka golput cukup tinggi sekitar 27,88 persen. Hal ini menandakan banyak warga yang kurang peduli akan pelaksanaan demokrasi. 

Biasanya golput disebabkan akibat faktor kemalasan, akses ke TPS yang jauh, dan instruksi dari tokoh berpegaruh ormas tertentu. Pilihan anda menentukan Indonesia ke depan. 

Mulai saat ini diharapkan masyarakat mengingat dan menimbang visi dan misi serta program kerja para pasangan calon. Buka pikiran dan mata hati Anda lalu mulai tentukan pilihan tepat demi kemajuan dan perbaikan negeri ini di masa mendatang. 

Hindari isu-isu SARA, fanatisme identitas dan rayuan-rayuan maut oknum anonim yang menyebarkan informasi palsu terkait paslon. Terpenting ingat untuk hadir dan menggunakan hak pilih pada 15 Februari 2017 dan jangan lupa bawa surat keterangan (suket) pemilih dan menunjukkan kepada panitia.

Berbagai macam kecurangan menjelang hari H akan terus terjadi dan biasanya rakyat kelas bawah menjadi sasaran empuk para timses nakal. Serangan fajar menjadi momok terbesar pemilu yang bebas dan fair. 

Paling parah apabila masih ada kampanye hitam seperti pembagian kupon gratis, embel-embel pelatihan gratis, dan tawaran uang yang menggiurkan. Sikap kita seharusnya tetap konsisten dan tidak mencoba memanfaatkan kesempatan dalam waktu yang sempit ini. 

Tetaplah bersikap fair dan menjaga nilai-nilai dan etika pemilu. Pemilu atau disebut pesta rakyat berarti momen di mana rakyat berbahagia dan ikut terlibat dalam praktek demokrasi elektoral. 

Maka sebisa mungkin hindari keburukan menjelang pemilihan dan pasca Pemilu. Tepatnya pelaksanaan pemilu ini penuh kegaduhan politik dan hukum akibat kasus penistaan agama yang dilakukan oleh salah satu kepala daerah. 

Disusul dengan berbagai aksi yang mengatasnamakan identitas tertentu. Bahkan banyak survei yang menyatakan bahwa pilkada cenderung akan terjadi dalam dua putaran, khususnya DKI Jakarta. Hal ini ditakutkan akan terjadi persaingan yang sengit di kalangan kontestan tersisa dan berdampak pada pendukung paslon. 

Harapannya setelah pelaksaan pemilu semua kembali pada kondisi aman, damai dan tentram serta semua sentimen identitas dan kalangan tertentu memudar.

Masih tersisa sehari menjelang pesta rakyat digelar. Kaji dan tinjau kembali semua visi-misi dan program kerja nyata para paslon dan terpenting sambut dan berbahagia di momen indah nan langka ini. 

Anda adalah hal berharga bagi republik ini, maka pilihlah pemimpin yang mampu menyelesaikan permasalahan di depan mata, bukan yang pandai berjargon atau menawarkan janji politik yang manis. Tapi pilihlah pemimpin yang siap kerja nyata dan siap membuat republik ini berharga di mata dunia.

*) Wakil Departemen Al Hikmah Research Center FSI FISIP UI

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement