REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--BUMN Watch mengingatkan para penegak hukum untuk mewaspadai kegiatan penjualan saham perdana (IPO) di perusahaan milik negara, termasuk yang sudah dilakukan di PT Krakatau Steel Tbk, karena diduga bisa menjadi modus baru korupsi.
"Boleh jadi kegiatan IPO BUMN menjadi objek korupsi gaya baru yang sulit dilacak siapa yang bermain. Namun kita yakin memang ada pemainnya dan ini harus dilacak," kata Ketua BUMN Watch, Naldy
Nazar Haroen, kepada wartawan di Jakarta, Ahad (21/11).
Atas dasar keyakinan itu, Naldy mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), DPR dan bahkan presiden ikut melacak siapa yang "bermain" dalam kegiatan IPO BUMN, apalagi terkait dengan BUMN strategis seperti PT Krakatau Steel (KS).
Menurut dia, fakta yang ada sudah membuktikan bahwa harga saham Krakatau Steel (KS) memang dilepas sangat murah. Di hari pertama pencatatan (listing) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 10 November 2010, saham KS langsung melonjak dari Rp 850 menjadi Rp 1.270 per lembar atau naik 49,41 persen.
Itu artinya, tidak kurang dari Rp 1 triliun "sumbangan" Krakatau Steel untuk para pemain saham dalam satu hari, katanya. Padahal menurut prediksi para analis pasar modal, saham Krakatau Steel masih bisa meningkat hingga ke level Rp 2.500 per lembar saham, dalam jangka panjang.
Naldy mengatakan, kenyataan tersebut membenarkan pendapat BUMN Watch bahwa proses penentuan harga saham PT KS sangat tidak masuk akal. Karena selama roadshow saja, jumlah penawar dengan harga Rp 1.150 - Rp 1.200 mungkin jauh lebih banyak dibanding penawar dengan harga Rp850 per lembar saham.
Ketua BUMN Watch ini juga heran, Menteri BUMN Mustafa Abubakar malah terlihat bangga dengan tingkat kenaikan harga saham PT KS tersebut, bukannya menyesal dan berpikir cermat, karena sebenarnya
penerimaan negara bisa jauh lebih besar lagi dari kegiatan IPO KS tersebut.
Menurut Naldy, kenaikan harga saham KS justru membuktikan bahwa optimisme kebijakan penetapan harga saham PT KS yang begitu rendah, tidak bisa mendorong perkembangan pasar sekunder. "Kita lihat
keberadaan KS tidak membuat Indeks Harga Saham Gabungan menjadi membaik. Yang terjadi spekulan bebas memainkan perannya di pasar saham," katanya.
Karena itu lanjut Naldy, tidak salah jika BUMN Watch mencurigai dalam proses privatisasi PT KS telah terjadi konspirasi yang berpotensi merugikan negara karena dana yang seyogianya bisa masuk ke kas negara,
justru masuk ke kantong-kantong para spekulan atau oknum-oknum tertentu. "Inilah yang harus diwaspadai, mengingat kasus ini menyangkut BUMN yang berpotensi merugikan keuangan negara tidak kurang dari Rp 2,5 triliun," tutup Naldy.