REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Direktur Eksekutif The Wahid Institute, Ahmad Suaedy, menganggap pelaksanaan hak beragama dan berkeyakinan serta kebudayaan masih jauh tertinggal. Jika dibandingkan dengan pemenuhan hak hukum, ekonomi, politik, dan media.
''Pelaksanaan hak beragama dan berkeyakinan dan kebudayaan bisa dikatakan seluruhnya masih bersifat represif,'' ujar Ahmad dalam 'Seminar Nasional HAM, Kerukunan Kehidupan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia', di Jakarta, Kamis (29/7).
Alasannya, belum ada reformasi yang berarti terkait hak tersebut semenjak Orde Baru. Menurut Ahmad, ketertinggalan itu juga akibat adanya unsur-unsur politis dari pemerintah daerah dan adanya tekanan-tekanan dari kelompok tertentu terhadap pemerintah. ''Ini berbahaya untuk masa yang tidak terlalu lama lagi akan datang. Pola mayoritas, minoritas, dan tiran,'' kritiknya.
Dia kemudian menjelaskan tentang besarnya intervensi kelompok tertentu terhadap pemerintah yang justru merugikan pihak minoritas. Aparat hukum seringkali tidak berkutik dihadapan beringasnya kelompok tertentu yang seringkali dibungkus alasan keagamaan.
Berdasarkan banyaknya kejadian tentang adanya intervensi itu, Ahmad berharap pemerintah mampu meluruskan persepsi tentang posisi dan tugas sebagai aparat negara dan penegak hukum. Sehingga mampu melindungi warga negara secara netral dan adil.