REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Panitia Kerja (Panja) Penegakan Hukum Komisi III DPR mengaku sudah mendapatkan izin dari Jaksa Agung untuk memintai keterangan dari Ketua Tim Penyidik kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Departemen Hukum dan HAM. Pemanggilan ini menurut anggota Panja, Syarifuddin Suding untuk menelusuri keterlibatan sejumlah pihak yang belum tersentuh hukum dalam kasus Sisminbakum.
"Jaksa Agung sudah memberi ijin 1000 persen untuk pemanggilan Jaksa Penyidik Farid Haryanto," kata Syarifuddin selepas menyambangi Kejaksaan Agung, Rabu (16/6) sore. Saat ini, Farid Haryanto menjabat sebagai Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Agung.
Dituturkan dia, rencana pemanggilan ini bermula dari laporan Terpidana kasus Sisminbakum, Yohannes Waworuntu, salah seorang terpidana kasus Sisminbakum ke Komisi III DPR RI. Di Komisi III, Yohannes yang mantan direktur utama PT PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) mengeluhkan proses hukum terhadap dia yang menurutnya tak adil. Yohannes sudah diputuskan Mahkamah Agung bersalah, dan harus menjalani lima tahun kurungan penjara terkait kasus ini.
Yohannes juga, menurut Syarifuddin, menyebutkan sejumlah pihak yang diduga kuat ikut terlibat tersebut adalah Komisaris PT SRD, Hartono Tanoe Soedibyo, dan mantan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Izha Mahendra. "Jadi permintaan ini memang tak terlepas dari dugaan keterlibatan pihak-pihak yang disebutkan itu," lanjut Syarifuddin.
Dari pemanggilan ini, diharapkan Syarifuddin akan dihasilkan sejumlah rekomendasi. Panja akan meneruskan rekomendasi ini untuk ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum.
Sejauh ini, kejaksaan sudah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus korupsi Acces Fee Sisminbakum ini.Tiga diantara para terdakwa tersebut sudah divonis bersalah. Di antaranya adalah mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Syamsuddin Manan Sinaga dan Romli Atmasasmita, dan Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) Yohanes Waworuntu.
Masih dua terdakwa yang menunggu hasil dari proses persidangan. Mereka adalah mantan Dirjen AHU Zulkarnaen Yunus dan mantan Ketua Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen (KPPDK) Ali Amran Zanah, masih dalam proses.
Kasus Sisminbakum bermula saat Depkumham dengan rekanan PT SRD diketahui memungut acces fee sebesar Rp 1.000.000 dari permohonan pendirian dan perubahan badan hukum, dan Rp 350 ribu dari pemesanan nama perusahaan per akta. Padahal, dalam Peraturan Pemerintah (PP) no 87 tahun 2000 tentang perubahan tarif atas Jasa Penerimaan Negara Bukan Pajak di Depkumham, untuk pembentukan, pengesahan, dan pendirian, atau perubahan anggaran dasar perseroan, hanya dikenakan tarif sebesar Rp 200 ribu saja per akta.
Kebijakan tarif tersebut dimulai saat mantan Dirjen AHU, Romli Atmasasmita mengeluarkan kebijakan memindahkan sistem pelayanan hukum di bidang pengesahan akta pendirian atau persetujuan atau laporan perubahan anggaran dasar dari sistem manual ke sistem elektronik pada 2001 lalu. Keputusan itu kemudian dikuatkan dengan surat keputusan yang dikeluarkan mantan Menkumham, Yusril Izha Mahendra, tahun 2002. Kerugian negara selama rentang 2002-2006 akibat pelaksanaan sistem ini menurut JPU mencapai Rp 193 miliar lebih.