JAKARTA--Proses seleksi hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) terhenti. Pasalnya Departemen Keuangan menolak anggaran untuk seleksi tersebut.
''Saya tidak tahu alasannya, tanyakan saja dengan Depkeu (Depertemen Keuangan),'' ujar Ketua Mahkamah Agung (MA), Harifin A Tumpa, ketika ditemuai wartawan di gedung MA, Jakarta, Jumat (16/04).
Menurutnya, proses seleksi itu penting untuk bisa mendapatkan hakim yang berkualitas. Karena jika hanya memanggil orang lalu menawarkannya untuk masuk menjadi hakim ad hoc tipikor tanpa ada tes, Harifin khawatir, masyarakat tidak mengendaki. ''Bisa saja (tanpa seleksi,-red). Tapi apakah itu yang dikehendaki masyarakat. Apakah itu yang dikehendaki oleh pemerintah,'' ujarnya setengah bertanya.
Sebelumnya, pada akhir tahun 2009 lalu, MA telah menggelar proses seleksi hakim ad hoc tipikor ini. Pada tahapan pertama pendaftar yang masuk hanya sekitar 25 orang saja. Pendaftaran pun diperpanjang hingga ditemukan 200 orang. Namun dari proses seleksi, hanya didapatkan 27 orang saja yang layak menjadi hakim ad hoc tipikor. Padahal jumlah hakim yang dibutuhkan sebanyak 68 orang.
Saat ini MA perlu mengadakan seleksi kembali untuk mengisi kekurangan tersebut. Hakim-hakim ad hoc ini rencananya akan mengisi 17 pengadilan tipikor yang disebar ke seluruh Indonesia. Total anggaran yang diajukan untuk melakukan seleksi itu sekitar Rp 700 juta. Namun, upaya untuk mengisi kekosongan itu terancam gagal karena anggaran tersebut ditolak oleh Departemen Keuangan.
Agar proses ini masih bisa dilakukan, MA sudah mencoba meminta kepada Komisi III DPR. Selain itu, ketika rapat dengan tim presiden dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, MA juga meminta dibuatkan Kepres (Keputusan Presiden) tentang pembentukan pengadilan tipikor ini. ''Kita minta bantuan mereka agar tidak terhalang,'' kata Harifin.