Kamis 30 Mar 2023 02:08 WIB

Pak Presidente, Kita dan Sepak Bola Bagaikan 'Toxic Relationship'

Kita mencintai, tetapi harus selalu siap tersakiti.

Ketua Umum PSSI Erick Thohir di sela pertemuan dengan Presiden FIFA Gianni Infantino di Doha, Qatar.
Foto: Dok PSSI
Ketua Umum PSSI Erick Thohir di sela pertemuan dengan Presiden FIFA Gianni Infantino di Doha, Qatar.

Oleh : Gilang Akbar Prambadi, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Ketika Erick Thohir resmi jadi konstestan dalam pemilihan Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) beberapa waktu lalu, saya langsung menguntai senyum. Bukan bermaksud mendahului konklusi pasti, tapi saya sangat yakin saat itu, Erick pasti akan terpilih.

Alasannya ada beberapa, tapi yang jelas, portofolio dari pria penggila basket itu terlalu mengkilap. Mata siapapun, termasuk para voters di Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI pada Februri lalu, niscaya dibuat silau oleh historinya di dunia olahraga.

Pernah menjabat sebagai Presiden klub elite Eropa, Inter Milan, ditambah posisi mentereng lainnya di bidang olahraga baik nasional maupun internasional, pencapaian Erick hingga detik ini, belum ada yang menyamai.

Dua bulan berlalu sejak terpilih sebagai Ketum PSSI, Erick membawa angin perubahan penuh optimisme. Semua pihak seolah hanya bisa mengangguk dengan segala gagasan Erick tentang memajukan sepak bola Indonesia.

 

Bukan anggukan tanda manut karena perintah. Tapi, apa yang Erick utarakan dan lakukan, memang tepat ke titik tengah dari poin-poin taktik brilian pembenahan sepak bola Tanah Air.

Di sini, saya tak perlu mengulang hal-hal yang Erick jelaskan mengenai segala rencana dan aksi yang sedang dan akan dia lakukan untuk sepak bola Indonesia. Itu karena, bukan konteks tersebut yang hendak saya bahas.

Sesuai judul yang saya bubuhkan di atas, saya hanya ingin menyampaikan bahwa kita dan sepak bola bak sepasang kekasih yang menjalani toxic relationshiop. Dua kata terakhir di belakang tanda titik terakhir yang saya tulis adalah istilah populer dari frasa internasional untuk sebuah kisah asmara yang penuh keruwetan. Intinya, hubungan itu dijalani memang dengan cinta, tapi entah mengapa, setiap tapaknya selalu menghadirkan partikel mumet. Pusing.

Kira-kira demikianlah gambaran tentang kita dan sepak bola. Saya sendiri, mengidentitaskan diri sebagai pecinta Manchester United (MU) sejak 90an. MU main bagus dan menang, saya senang. MU main buruk dan kalah, saya gelisah. Apapun itu, tak membuat kecintaan saya kepada Iblis Merah luntur. Padahal saya jamin, mereka mengetahui saya ada di dunia ini saja belum tentu. Sungguh cinta yang rumit.

Namun, ketika timnas Indonesia, khususnya level senior bermain, entah menang atau kalah, rasanya dua kali lipat dari yang saya alami dengan MU.

Saat timnas tersungkur di final Piala AFF 2004, rasa hampanya begitu mengena. Hal sama terjadi saat melihat timnas terkapar di final Piala AFF 2010. Suram. Ditambah, liga lokal juga berjalan begitu-begitu saja. Terluka rasanya oleh sepak bola Indonesia.

Hingga kini, belum ada yang bisa saya banggakan atas hubungan saya dengan sepak bola Indonesia. Mungkin ada satu, remeh, tak ada hubungannya dengan prestasi.

Itu adalah soal tendangan aroma gangsta yang dilakukan Abduh Lestaluhu, penggawa timnas Indonesia saat melawan Thailand pada partai final Piala AFF 2016 di Stadion Rajamangala, Bangkok, 17 Desember 2016 lalu. Entah mengapa, saya selalu senang mengulang-ulang tayangan saat Abduh menendang bola sekencang geledek ke bench pemain Thailand. Ha ha ha, keren Pak Abduh!

Selebihnya, rasa kecewa rutin bertamu. Dipikir-pikir, apa jangan-jangan sepak bola ini bukan jodoh orang indonesia? Mengingat, ada negara-negara yang memang penduduk-penduduknya terlahir untuk menguasai suatu cabang olahraga, tapi lemah di cabang olahraga lainnya.

Misalnya, Brasil dengan sepak bola, tidak berjodoh dengan bulu tangkis. Pakistan yang lemah di sepak bola, begitu fantastis di cabor kriket. Lalu ada Cina, hampir selalu merajai berbagai cabor di setiap olimpiade. Namun, untuk sepak bola, mereka baru sekali lolos ke Piala Dunia, itu pun terjadi 21 tahun yang lalu.

Maka itu, hanya satu tugas inilah yang harus dituntaskan Erick; menjodohkan sepak bola dengan Indonesia.

Ujian terbaru dari kisah berliku percintaan kita dengan sepak bola ada di depan mata, yakni, Piala Dunia U-20. Hajatan terbesar sepak bola untuk peserta usia di bawah 20 tahun ini  batal digelar di Indonesia.

Indonesia yang sejak jauh hari sudah bersiap, kini di ambang harus menerima keputusan pahit. Pangkal masalahnya, keikutsertaan salah satu tamu, timnas Israel di turnamen Mei nanti itu dipersoalkan. Isunya ramai tak keruan. Belakangan, malah kian gaduh.

Belum dua bulan Erick menjabat, ia dan orang-orang di PSSI era baru ini sudah langsung menghadapi hal yang semestinya bukan bahan untuk diributkan.

Tapi, FIFA sudah mengambil sikap tegas. Pengundian pembagian grup putaran final Piala Dunia U-20 yang harusnya digelar April nanti, diputuskan diundur. Kelam-kelamnya, Piala Dunia U-20 pun akhirnya terjadi dengan batal digelar di Indonesia. Tidak itu saja, sanksi FIFA pun masih membayangi Indonesia.

Tugas berat bagi Presidente Erick Thohir. Ya, demikian warga-warga di Italia memanggilnya bila berpapasan; Il Presidente.  Dan tenyata Piala Dunia U-20 benar-benar dipindahkan dari Tanah Air, maka muncul pertanyaan di saya, Indonesia dan sepak bola ini benar-benar toxic relationship. Kita harus tersakiti, karena itu hal biasa ketika kita mencintai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement