Kamis 09 Feb 2023 08:01 WIB

Ahli Hukum Edukasi Konsep dan Ide Dasar KUHP Nasional ke Masyarakat Papua

KUHP nasional, nantinya akan memberikan sistem hukum bagi masyarakat adat.

Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI), kembali menyosialisasikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah disahkan pada 2 Januari 2023 sebagai UU Nomor 1/2023 Tentang KUHP Kali ini Mahupiki bekerja sama dengan Universitas Negeri Papua (Unipa) guna mengedukasi masyarakat secara lebih luas.
Foto: Dok. Web
Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI), kembali menyosialisasikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah disahkan pada 2 Januari 2023 sebagai UU Nomor 1/2023 Tentang KUHP Kali ini Mahupiki bekerja sama dengan Universitas Negeri Papua (Unipa) guna mengedukasi masyarakat secara lebih luas.

REPUBLIKA.CO.ID, MANOKWARI -- Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI), kembali menyosialisasikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah disahkan pada 2 Januari 2023 sebagai UU Nomor 1/2023 Tentang KUHP Kali ini Mahupiki bekerja sama dengan Universitas Negeri Papua (Unipa) guna mengedukasi masyarakat secara lebih luas.

Rektor Unipa, Dr Meky Sagrim SP M Si mengatakan, pembaruan sistem hukum nasional melalui KUHP hasil karya bangsa sendiri ini akan berlangsung baik karena dilaksanakan secara terbuka dan melibatkan semua.  Seperti praktisi ahli, akademisi, LSM maupun mahasiswa.

Baca Juga

"Pembaruan tersebut bertujuan mengganti KUHP peninggalan Belanda menjadi KUHP Nasional yang bertujuan untuk dekolonialisasi, harmonisasi, serta untuk menyesuaikan kondisi zaman dan dinamika di masyarakat," papar  Meky dalam acara Sosialisasi KUHP di Swiss-belhotel, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, Rabu (8/2/2023).

Selanjutnya, Unipa  berkomitmen untuk membantu pemerintah dalam menyosialisasikan KUHP tersebut. 

"Atas arahan langsung dari Bapak Presiden RI kepada setiap perguruan tinggi negeri di wilayahnya masing-masing untuk terlibat dalam mensosialisasikan KUHP kepada mahasiswa maupun masyarakat setempat," paparnya.

Mengawali sesi sosialisasi, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran, Prof Romli Atmasasmita S H LLM, mengatakan pengesahan KUHP nasional merupakan suatu momentum besar karena Indonesia akhirnya memiliki produk hukum asli buatan Indonesia yang sesuai dengan sistem hukum yang berlandaskan Pancasila.

"Ini sejarah baru bagi bangsa Indonesia karena usaha pembaharuan tersebut sebenarnya sudah pertama kali diusung pada tahun 1964. Sementara, Pemerintah pertama kali membentuk tim perumus KUHP sejak tahun 1983. Ini sudah hampir 40 tahun dan tercatat sudah 13 kali pergantian Menteri Kehakiman, Hukum dan HAM. Proses yang cukup panjang sampai dengan hari ini," papar Romli secara daring.

Dalam sesi selanjutnya, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember, Prof M. Arief Amrullah SH M Hum, mengungkapkan bahwa KUHP nasional mengandung keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan individu secara proporsional. Selain itu, KUHP nasional memiliki perbedaan dengan WvS (KUHP peninggalan Belanda) karena telah menyesuaikan dengan kondisi zaman maupun asas yang dimuat dalam Pancasila.

"Yang jelas KUHP nasional ini berbeda dengan WvS. Ini artinya sudah mencerminkan partikularisasi dari masyarakat Indonesia. Jadi betul-betul KUHP ini dibuat sesuai dengan ritme dan irama yang terkandung dalam nilai Pancasila," kata Arief.

Arief menilai bahwa pro dan kontra yang terjadi karena pengesahan KUHP tersebut menjadi hal yang lumrah. Yang harus dilakukan selanjutnya adalah  mengkuatkan konsolidasi ke berbagai kalangan dalam memberikan pandangan dan perspektif secara luas kepada masyarakat.

"Pro kontra di kalangan masyarakat memang kerap terjadi. Akan tetapi upaya untuk melakukan sosialisasi gencar kita lakukan di seluruh Indonesia yang tujuannya supaya masyarakat bisa memahami apa saja yang dimuat di dalam KUHP baru sehingga masyarakat bisa menerima dengan baik," lanjutnya.

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Prof Dr Pujiyono SH M Hum mengatakan, adalah tugas bersama untuk memantau terutama para akademisi dalam mencermati bagaimana jalannya KUHP ke depan. "Ini adalah sebuah pekerjaan besar nasional yang harus kita sosialisasikan," kata Pujiyono.

Pujiyono juga memberikan contoh kasus, misalnya pengakuan terhadap hukum masyarakat adat yang diatur dalam KUHP nasional, nantinya akan memberikan sistem hukum bagi masyarakat adat (living law) yang akan berdampak terhadap perlindungan hukum bagi masyarakat Papua dengan ratusan suku dan adat di dalamnya.

"Papua ini unik karena banyaknya masyarakat adat yang selama ini ada perlakuan otsus dan sebagainya. Ini sangat bagus untuk disosialisasikan berkaitan dengan adanya living law. Sehingga masyarakat akan lebih tahu berkaitan dengan eksistensi dari disahkannya Hukum Pidana di dalam Hukum Nasional," lanjutnya.

Pujiyono berharap dengan disahkannya KUHP tersebut bisa terintegrasi dalam keberadaan penegakan hukum nasional. 

"Jika ide dasar KUHP ditelaah lebih dalam, maka KUHP peninggalan kolonial Belanda didasarkan pada nilai-nilai individual liberalism, sedangkan masyarakat Indonesia lebih banyak didasari oleh aspek-aspek monodualisme, atau bagaimana menempatkan individu di dalam konteks kemasyarakatan," tutupnya.

Sosialisasi KUHP berlangsung secara hybrid tersebut diikuti oleh ratusan peserta. Kemudian diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya disahkan KUHP tersebut agar lebih sesuai dengan dinamika masyarakat yang ada saat ini.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement