Rabu 31 Aug 2022 11:44 WIB

Meninjau Ulang Kewajiban Spin-off UUS untuk Kebaikan Industri Syariah

Dilema industri perbankan syariah di Indonesia.

Karyawan Bank Syariah sebuah melayani nasabah. (ilustrasi)
Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Karyawan Bank Syariah sebuah melayani nasabah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Dr Hurriyah El Islamy,  Anggota BPKH, Penerima Penghargaan BI Award 2018 sebagai Tokoh Penggiat Ekonomi Syariah, Kelompok Penguatan Sektor Keuangan Syariah, dan Penggiat dan Professional Keuangan Syariah Nasional dan Internasional 

Indonesia kini tengah menghadapi dilema, khususnya dalam menentukan masa depan industri perbankan syariah. Apakah akan tetap memaksa industri perbankan Syariah, khususnya Unit Usaha Syariah (UUS) untuk spin off dari Bank Induknya pada 2023 sesuai UU Perbankan Syariah dengan segala keterbatasan yang ada. Atau mengizinkan UUS tumbuh ke potensi yang sesungguhnya dan mengambil keputusan berdasarkan kondisi bisnis bukan sekedar kebijakan regulasi.

Ibarat game show “Wheel of Fortune”, di mana peserta harus berhati-hati menentukan apakah akan “spin the wheel”atau membeli huruf vokal atau menyelesaikan puzzle. Keputusan untuk ‘spin the wheel’ sangat menentukan apakah peserta dapat melanjutkan permainan atau justru akan terhenti langkahnya bahkan tidak jarang gagal total dan mengalami kebangkrutan. Demikian halnya keputusan untuk spin off UUS atau tidak, akan sangat menentukan masa depan industri perbankan syariah di Indonesia.

Untuk menganalisis dan menentukan pendekatan yang tepat, adil, dan berkesinambungan, kiranya penting untuk memastikan dulu apa sejatinya tujuan dari ide kewajiban spin-off. Apakah untuk mendorong industri berkembang dan mencapai potensi yang diharapkan atau sekedar memaksakan hal tersebut meskipun keadaan dan kondisi yang ada belum mendukung.

Refleksi

Dalam Islam, sekiranya kita menyatakan berencana melakukan sesuatu esok hari, kita dianjurkan untuk menyatakan Insha Allah. Empat belas tahun lalu, ketika Undang-Undang Perbankan Syariah dibuat, diharapkan industri perbankan Syariah yang dilahirkan akan berkembang pesat dalam jangka waktu lima belas tahun. Sehingga dapat mandiri bersanding secara kompetitif dengan industri perbankan konvensional yang sudah sangat berkembang. Harapan tersebut dituangkan dalam ketentuan transisi yang menghendaki unit-unit Syariah di bank konvensional untuk spin offdi tahun 2023. Namun, ketika harapan tidak menjadi kenyataan, apakah masih perlu keinginan tersebut dipaksakan? 

 Memang, pada tahun 2011, Financial Times membuat prediksi, apabila tingkat pertumbuhan industri perbankan Syariah di Indonesia menyamai tingkat pertumbuhan industri perbankan Syariah di Malaysia pada saat itu, maka pada tahun 2023 nilai aset perbankan Syariah di Indonesia akan mencapai hampir US$1,6 triliun. Pada tahun 2014, pihak Otoritas juga menyampaikan aspirasi agar Perbankan Syariah di Indonesia memiliki sekurangnya 15% market share pada tahun 2023. Faktanya, baik prediksi maupun harapan tersebut tidak terpenuhi. Bahkan separuh dari nilai yang diharapkan pun belum tercapai. 

Maka, ketika pangsa pasar masih terlalu kecil, bahkan tidak mencapai 7%, memaksakan industri perbankan Syariah untuk melakukan spin off sama artinya dengan menyapu bersih industri ini dari persaingan. Dengan kondisi pasar, regulasi, dan faktor lainnya yang masih berlaku saat ini, memaksakan UUS untuk berdikari hanya akan mendorong munculnya Bank-Bank Syariah dengan capital base yang terbatas. Akibatnya transaksi-transaksi besar hanya akan menjadi segmen ekslusif bank-bank konvensional semata. Apalagi saat spin off, kenyataannya modal yang disetorkan shareholder tersebut akan tergerus untuk kebutuhan capex dan operasional.

Apabila waktu, fokus dan dana tersedot untuk tujuan tersebut, dalam proses spin off, bagaimana kita bisa mengharapkan perbankan Syariah untuk fokus dalam peningkatan kualitas produk dan jasa agar dapat menjadi lebih menarik. Termasuk dari aspek harga/pricing untuk dapat bersaing dengan industri perbankan konvensional yang menguasai lebih dari 93% pangsa pasar?

Ketika fakta industri perbankan Syariah saat ini tidak sesuai dengan harapan semula saat undang-undang tersebut diperkenalkan, sebaiknya tidak harus terpaku dengan teks undang-undang tersebut. Apalagi tujuan dari ketentuan perundangan tersebut tidak tercapai dan masih jauh dari kenyataan. Karena itu, hal tersebut selayaknya menjadi indikasi agar undang-undang tersebut direvisi. Undang-undang tersebut perlu dikaji kembali dan diperbaiki agar dapat menetapkan peraturan-peraturan yang memfasilitasi terpenuhinya tujuan semula dari adanya UU Perbankan Syariah. Yaitu untuk mengatur dan memfasilitasi pertumbuhan industri perbankan Syariah, agar industri ini dapat lebih kompetitif.

Saat tujuan tersebut belum tercapai, apakah ini adalah waktu yang tepat untuk mengambil risiko, seolah sedang bermain ‘wheel of fortune’ dan memaksa industri untuk melakukan spin off. Sedangkan data dan fakta jelas menunjukkan bahwa apabila hal tersebut kita lakukan, konsekuensinya membuat industri perbankan Syariah semakin tidak berdaya. Selain itu, akan semakin tidak mampu berkompetisi dengan counterpart konvensional yang sedemikian besar bahkan dibandingkan dengan kondisi saat ini?

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement