Selasa 12 Jul 2022 19:10 WIB

Hikmah Pengorbanan Ibrahim dan Keluarga

Momentum Idul Adha waktu merenung, mencari figur teladan dalam menjalani hidup

Mahyeldi Ansharullah, Gubernur Sumbar
Foto: istimewa
Mahyeldi Ansharullah, Gubernur Sumbar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mahyeldi Ansharullah, Gubernur Sumbar

Momentum Idul Adha waktu untuk merenung sejenak, mencari figur teladan dalam menjalani kehidupan. Dengan teladan, kita memiliki tolok ukur untuk menilai apakah perjalanan hidup kita sudah baik atau semakin jauh dalam kelalaian dan kemaksiatan.  Oleh karenanya, sepantasnya lah kita kenang kembali manusia luar biasa, utusan  Allah SWT,  Nabi Ibrahim Alaihissalam  beserta keluarganya Siti Hajar dan Ismail Alaihissalam anaknya. Keagungan pribadinya membuat kita dan bahkan Nabi Muhammad SAW harus mampu mengambil Ibrah dan keteladanan darinya. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia (QS Al Mumtahanah: 4)."

Begitu banyak keteladan dari Nabi Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya,  serta begitu besar hikmah dari pelaksanaan ibadah haji yang sedang berlangsung di tanah suci. Lewat tulisan ini, kita sampaikan beberapa hikmah dan pelajaran yang menjadi inspirasi bagi kita untuk  diwujudkan dalam membangun peradaban, terutama bagi kita bangsa Indonesia yang masih terus berjuang untuk mengatasi berbagai persoalan-persoalan yang menghantui kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pertama, Ibrahim mengajarkan Tauhid dan Istiqamah dalam keyakinan. Ketika Ibrahim memulai mencari kebenaran, dia mengira bahwa tuhan itu adalah zat yang mampu memberikan manfaat dan pertolongan. Maka ibrahim menduga Tuhan itu adalah bintang-bintang di langit, karena bintang mampu memberikan cahaya. Tetapi ketika dibandingkan dengan bulan, ternyata bulan kelihatan lebih besar dari bintang-bintang, dan cahayanya juga lebih cerah. Namun disaat subuh datang, pagi menjelang, bulanpun menghilang, maka ibrahim berkata, Inni la uhibbul afiliin (saya tidak mau, tuhan itu hilang). 

Ketika dia melihat matahari bersinar terang di siang hari, maka dia mengira tuhan itu adalah matahari, tapi sama saja ternyata. Walaupun matahari lebih besar, memberi cahaya yang lebih kuat dari bulan, tapi ketika sore datang, dia pun tenggelam di ufuk barat dan tidak bisa mempertahankan diri untuk tetap bersinar terang. 

Ibrahim menyimpulkan bahwa tuhan itu  bukan bintang, bulan dan  matahari, ataupun manusia. Tetapi, Tuhan adalah dzat yang mampu memberikan pertolongan, manfaat dan mudhorrat yang menciptakan alam beserta isinya. Maka tuhan itu adalah Allah. Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fathorossamawati wal ardho, hanifan muslima, wama ana minal musyrikin. Inna sholati wa nusuki wamahyaya wammati lillahiroabbil aalamain.

Pengakuan tauhid yang benar ini dibuktikanya ketika berhadapan dengan Nambrud dan bala tentaranya.Ketika Nambrud mengaku-ngaku sebagai tuhan, karena dia raja dan penguasa yang dengan kekuasaannya bisa berbuat apa saja. Ibrahim berkata sesungghnya yang berhak disembah adalah zat yang maha hidup, yang mentakdirkan matahari terbit dari timur dan tenggelam dibarat, yang menciptakan manusia. Nambrud berkata, ana uhyi wa umiit, bahkan dia buat penjelmaan tuhan itu dalam bentuk patung-patung. Namun Ibrahim tetap dengan keyaikinannya, walau harus berhadapan dengan penguasa. Dia hancurkan patung-patungnya Nambrud, sehingga Nambrud naik pitam dan membakar Ibrahim hidup-hidup. 

Dan di sini terbukti bahwa Tuhan yang benar itu adalah Allah, yang menciptakan alam beserta isinya, memberikan pertolongan dan menetapkan takdir kehidupan. Walaupun api yang begitu besar dengan sifat panas membakar, Ibrahim tidak punya daya sama sekali untuk menyelamatkan diri. Allah lah yang memberikan pertolongan kepada Ibrahim yang memiliki keyakinan tauhid yang benar. Allah berfirman, Waqulnaa ya naaru kuuni bardan wa salaaman ala ibrahiim (wahai api, jadilah dingin dan selamatkan ibrahim). Dan ternyata ibrahim tidak terbakar sama sekali, inilah bukti tauhidnya ibrahim, bukti keyakinan yang benar akan berbuah dengan pertolongan Allah.          

Hikmah kedua, tinggalkan yang haram, kerjakan yang halal. Kita ketahui, ibadah haji adalah syariat Nabi Ibrahim AS yang disempurnakan oleh Rasul SAW. Dimulai dengan ihram dan diakhiri dengan tahallul. Saat ihram, pakaian yang dikenakan jamaah adalah kain putih tak berjahit, yang melambangkan kain kafan yang nanti akan dikenakan disekujur tubuh ketika kembali kepada Allah SWT pada saat kematian. 

Pakaian ihram juga lambang tidak adanya perbedaan  manusia dimata Allah. Segala perbedaan harus ditanggalkan dalam arti jangan sampai memiliki fanatisme suku, organisasi, partai politik, paham, status sosial, ekonomi ataupun profesi. Kesatuan dan persamaan harus diutamakan dalam upaya menegakkan dan memperjuangkan kebenaran. Pakaian ihram juga melambangkan kesiapan untuk disiplin menjalankan kehidupan sebagaimana ditentukan Allah SWT, karena selama berihram, jamaah haji memang berhadapan dengan sejumlah ketentuan, ada yang boleh dan ada yang dilarang untuk dilakukan.  

Dengan demikian, seorang muslim semestinya selalu disiplin menjalankan syariat Islam  untuk  mendapatkan  kedudukan terhormat, karena kehormatan manusia bukanlah terletak pada pakaiannya, tapi pada ketakwaannya.  

Bila ihram maknanya pengharaman dan tahallul bermakna penghalalan, maka setiap kita harus siap meninggalkan yang diharamkan Allah SWT dan hanya mau melakukan sesuatu bila memang dihalalkan. Inilah prinsip setiap muslim, karena itu amat tercela bila ada orang ingin mendapatkan sesuatu dengan cara yang tidak halal dan bahkan  memanfaatkan jalur hukum hanya untuk sekadar mendapatkan legalitas hukum agar terkesan menjadi halal. 

Jabatan, posisi, kerja dan bahkan hanya sekadar suara/dukungan kita pada seseorang pada akhirnya akan berujung kepada rezeki. Bisa saja rezeki itu halal atau sebaliknya menjadi haram, Allah SWT melarang keras kita untuk memakan dan mencari yang haram, apalagi menggunakan cara-cara yang haram untuk sesuap nasi atau sekadar jabatan duniawi. Allah berfirman-Nya: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (QS Al Baqarah: 188)."

Ketiga, berjuang dan berkurban demi kebaikan. Ibadah haji merupakan ibadah  yang penuh perjuangan, menapak tilas perjuangan Ibrahim mengantarkan istri dan anaknya ke padang tandus Bakkah/ Mekkah hari ini, yang waktu itu belaum ada kehidupan sama sekali. Setelah diitnggal suaminya, Siti Hajar berjuang sendiri mencari air, berlari-lari antara safa dan marwa, hingga tujuh kali. Ketika Ismailpun sudah muda belia, ada lagi perintah Allah untuk menyemblihnya. Siti Hajar selaku ibu rela dan pasrah. Begitu juga Ismail juga ridho dengan takdir Allah.  

Maka setiap tahun, saudara kita yang berangkat haji, memulai perjuangan dari  rumah menuju menuju Mekkah. Di sana jamaah langsung menunaikan umrah hingga tahallul. Setelah beberapa hari,  para jamaah sudah harus bergerak lagi untuk melaksanakan puncak ibadah haji, bergerak menuju Arafah untuk wuquf, malam harinya menuju Muzdalifah untuk mabit dan mengumpulkan batu, keesokan harinya melontar di Mina, Tawaf ifadhah di Mekkah, kembali lagi ke Mina untuk melontar hingga selesai, lalu kembali lagi ke Mekkah atau Madinah, kemudian bersiap meninggalkan Saudi Arabia menuju Tanah air masing-masing. 

Dari rangkaian ibadah haji itu, setelah wukuf, maka puncak kesulitan bahkan resiko yang paling besar adalah saat melontar yang melambangkan perlawanan atau perperangan melawan syaitan. 

Dengan demikian setiap muslim apalagi mereka yang sudah menunaikan haji seharusnya mau berjuang dan menjadi tokoh-tokoh pergerakan dan perubahan  untuk memperbaiki keadaan dan kualitas umat. Setiap muslim harus berjuang untuk mencari nafkah, bergerak mencari ilmu, menyebarkan, menegakkan dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran. Bergerak untuk memberantas kemaksiatan dan kemunkaran. Ini semua menunjukkan bahwa seorang muslim tidaklah orang yang pasif, diam saja menerima kenyataan, apalagi berdalih  takdir dan tawakkal, tetapi terus bergerak, berjuang, menegakkan kebenaran membangun perdaban secara bersama-sama dan memberikan pelayanan kepada umat.

Keempat, jadikan masjid sebagai basis kebangkitan ekonomi dan pusat pergerakan. Ibadah haji dan rangkaian ibadah lainnya berpusat di masjid. Ketika jamaah haji kita mendapat kesempatan untuk berziarah ke Madinah, maka seluruh jamaah berbondong-bondong untuk melaksanakan shalat berjamaah lima waktu di Masjid Nabawi, bahkan sampai ditargetkan mencapai angka arbain (40) waktu demi semata-mata mencari pahala.

Oleh karena itu, sebagai muslim setiap kita harus memiliki ikatan batin dengan masjid yang membuat kita mau mendatangi masjid setiap hari untuk melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah. Ikatan batin kita yang kuat kepada masjid membuat kita akan menjadi orang yang dinaungi Allah SWT pada hari kiamat, Rasulullah SAW bersabda: "Ada tujuh golongan orang yang akan dinaungi Allah yang pada hari itu tidak ada naungan kecuali dari Allah: …seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid ketika ia keluar hingga kembali kepadanya (HR. Bukhari dan Muslim)."

Dengan  berkumpulnya kita secara rutin di masjid, maka permasalahan hidup, ekonomi dan sosial masyarakat bisa kita diskusiakn dan dicarikan solusinya. Begitulah Rasul SAW mengajarkan kepada  sahabat untuk bisa kita teladani. Karena itu aneh sekali bila ada seseorang muslim, tapi sehari-hari tidak suka dan tidak mau datang ke masjid. Sementara dia, tersinggung pula jika dikatakan munafik atau bukan bagian dari umat Islam. Semantara di antara tanda kemunafikan itu adalah terasa berat dan malas untuk menunaikan shalat, Allah WT berfirman:  

"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali (QS An Nisa:142)."

Pelajaran kelima adalah pentingnya keharmonisan antara sesama keluarga. 

Keluarga basis pertahanan bagi generasi muda dan anak-anak kita. Besarnya tantangan globalisasi mengingatkan kita kepada keteladan Ibrahim dan Siti Hajar dalam mendidik anak. Walaupun Ibrahim tinggal berjauahan dari anaknya, ternyata Siti hajar mampu memerankan diri sebagai Ibu sekaligus ayah bagi anaknya, sehingga seorang anak yang bernama Ismail tetap menghormati dan merindukan ayahnya Ibarahim. Dan ketika ayahnya datang dia memberikan pengabdian dan bakti yang luar biasa, yaitu siap untuk disemblih oleh ayahnya sendiri. Tidak mungkin semua ini bisa terjadi begitu saja, tetapi bisa dipastikan kepatuhan anak kepada orang tua bisa menjadi kenyataan, jika  bapak dan Ibu dari anak-anak itu hidup harmonis dan saling menghargai, serta memberikan keteladanan. 

Itulah potret keluarga Ibrahim dan Siti hajar. Adalah Siti Hajar yang bolak balik antara Safa dan Marwa sampai tujuh kali, demi mencari setetes air. Ridho dan rela ditinggal suami, bersama bayinya. Adalah Siti hajar yang juga rela dan pasrah dengan perintah Tuhannya, lewat Ibrahim untuk menyembwlih anak kandungnya. Tidak ada kedongkolan, penolakan dan dan bantahan sama sekali dari seorang istri kepada suaminya. Ibu yang seperti inilah yang mendidik dan membesarkan Ismail, sehingga mau berbakti kepada ayahnya dengan puncak pengabdian, siap untuk disembelih. 

Ternyata Allah SWT itu betul ada, Allah maha berkuasa. Keluarga yang harmonis yang dicerminkan oleh ayah yang bertauhid, teguh pendirian, siap berkorban apa saja. Istri yang patuh dan tabah dengan ujian, serta anak yang shaleh, berbakti kepada orangtuanya. Allah turunkan pertolongannya. Ismail diganti dengan kibas. Perjalanan mencari kebenaran tuhan, perjuangan melawan kezhaliman, proses panjang membangun perdaban di Mekkah, berujung dengan posisi kholilullah (teman dekat Allah), dan menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad hingga hari kiamat.

Maka jika kita belum mampu berhaji, masih bisa kita meneladani Ibrahim dan keluarganya dengan berkurban, menyembelih seekor kambing pada hari tasyrik, untuk membuktikan syukur kita atas nikamt Allah yang begitu banyak. Inna aktoinakal kautsar, fashollili raobiika wan har, sungguh kami telah beri nikmat yang banyak kepadamu, maka tunaikanlah sholat dan berkurbanlah. 

Andai kita sedang dalam kesulitan, banyak persoalan, ujian dan cobaan yang tidak pernah berhenti, berat dan besarnya persoalan hidup. Pastikan kita tidak menyerah dan putus asa. Tetaplah berusaha dan dalam ketaatan, maka pasti pertolongan Allah akan datang. Dengan menolong agama Allah SWT, membantu para pemimpin yang memperjuangkan nilai-nilai agama, maka pasti Allah akan menolong kita, Janji Allah sungguhlah pasti: In tanshurllah, yanshur kum. Jika kamu menolong agama Allah, maka pasti Allah akan menolong kamu.

Inilah setidaknya hikmah, keteladanan  dan pelajaran dari Ibrahim dan keluargaya, semoga bisa menjadi modal hidup dalam membangun rumah tangga, bangsa dan negara, bagi rakyat jelata dan penguasa. Jika ini terealisasi, maka insya Allah jadilah negeri kita ini menjadi negeri yang aman, damai dan sejahtera dalam naungan ridha Allah. Baldatun Toyyibatun wa rabbun ghofur. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement