Senin 28 Mar 2022 01:29 WIB

Ruang Siber Jadi Tantangan Kebebasan Berekspresi di Indonesia dan ASEAN

Level demokrasi di tiap negara anggota ASEAN berbeda-beda. 

Forum Literasi Hukum dan HAM Digital (Firtual) dengan tema ASEAN, HAM, dan Kebebasan Berekspresi.
Foto: kemenkominfo
Forum Literasi Hukum dan HAM Digital (Firtual) dengan tema ASEAN, HAM, dan Kebebasan Berekspresi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemerdekaan berekspresi merupakan hak fundamental yang diakui dalam sebuah negara hukum. Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN menjamin kebebasan berekspresi sejak awal kemerdekaan melalui UUD 1945 dan UU No. 39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). 

Perkembangan teknologi informasi dan semakin riuhnya ruang siber menjadi tantangan bagi Indonesia serta negara ASEAN lainnya dalam menjaga dan menghormati kebebasan berpendapat dan berekspresi. Direktur Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan, Kemkominfo, Bambang Gunawan, menegaskan ASEAN telah mengesahkan Deklarasi Hak Asasi Manusia pada 18 November 2012. 

Dalam pasal 23 Deklarasi HAM, ujar Bambang, dijelaskan mengenai hak setiap individu dalam kebebasan berekspresi, berpendapat, hingga mencari, menerima, dan memberikan informasi. "Namun masih ditemukan praktik yang berbeda di negara-negara anggota ASEAN," ujar dia ketika membuka Forum Literasi Hukum dan HAM Digital (Firtual) dengan tema 'ASEAN, HAM, dan Kebebasan Berekspresi', seperti tertulis dalam keterangan tertulis.

Direktur Kerjasama Politik dan Keamanan ASEAN, Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat, menambahkan pengaturan kebebasan berekspresi dan berpendapat tidaklah sama dari satu negara ke negara lainnya. Hal ini dibatasi oleh UU yang berlaku di negara masing-masing.

"Indonesia berperan aktif dalam memajukan kebebasan berekspresi dan berpendapat di ASEAN, karena Indonesia menempatkan hal ini menjadi satu prioritas dengan membuka forum dialog dengan negara anggota ASEAN lainnya," ujar Rolliansyah.

Melalui kegiatan AICHR Regional Consultations on Freedom of Expression, Opinion and Information (FOEI) in ASEAN yang diselenggarakan di Bali tahun 2019 dihasilkan beberapa rekomendasi seperti review kebijakan, inisatif dan mekanisme ASEAN terhadap FOEI termasuk dalam bidang cybersecurity.

Wakil Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), Yuyun Wahyuningrum turut menjelaskan batasan antara ujaran kebencian dengan kebebasan berekspresi. Menurutnya, ujaran kebencian di ASEAN meningkat terutama ketika masa pandemi salah satunya munculnya asian hates.

"Membedakan ujaran kebencian dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat tidaklah mudah, dibutuhkan analisis mendalam," kata Yuyun. 

Walaupun sudah diatur di hukum internasional, ujaran kebencian susah didefinisikan secara mudah. “Beberapa negara di ASEAN merespon hal ini dengan memakai UU lama maupun baru, seperti KUHP di Indonesia yang digunakan untuk meredam ujaran kebencian," ucapnya menambahkan.

Adapun faktor-faktor yang menghambat kebebasan berekspresi di ASEAN, menurut Akademisi Hubungan Internasional UI, Dwi Ardhanariswari, ialah adanya ASEAN ways dan values yang membatasi negara lain untuk berpendapat atau memberi masukan mengenai kedaulatan negara terutama dalam hal HAM. Level demokrasi yang berbeda di tiap negara anggota ASEAN membuat fasilitas atau hak-hak kebebasan berpendapat di setiap negara berbeda-beda. 

Masih banyak beberapa negara membatasi kebebasan berbicara dan hal ini yang menjadi representasi kebijakan negara terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat. "Indonesia harus bisa menjadi contoh dan juga mampu membuka dialog untuk membantu negara-negara lain dalam hal HAM dan kebebasan berekspresi di kawasan negara masing-masing, kita harus secara konstan menyerukan ide-ide yang positif dan appropriate melalui ruang-ruang digital mengenai kebebasan berekspresi dan membawa perubahan," ujar Dwi. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement