Selasa 03 Nov 2020 17:01 WIB

Label Teroris Islam dalam Insiden di Austria dan Prancis

Mengaitkan agama Islam dengan tindakan terorisme melukai hati kaum Muslim.

 Petugas polisi tetap di posisi di samping tugu peringatan bagi para korban era Nazi, setelah terdengar suara tembakan, di Wina, Senin, 2 November 2020. Korban penembakan di sinagoga di Wina dalam kondisi kritis, beberapa bahkan meninggal. Pemerintah Austria menuding teroris Islam sebagai pelaku penembakan di sinagoga.
Foto: AP/Ronald Zak
Petugas polisi tetap di posisi di samping tugu peringatan bagi para korban era Nazi, setelah terdengar suara tembakan, di Wina, Senin, 2 November 2020. Korban penembakan di sinagoga di Wina dalam kondisi kritis, beberapa bahkan meninggal. Pemerintah Austria menuding teroris Islam sebagai pelaku penembakan di sinagoga.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Kamran Dikarma, Kiki Sakinah, Nugroho Habibi, Antara

 

Baca Juga

Serangan yang dikaitkan dengan sentimen agama kembali terjadi di Wina, Austria, Selasa (3/11). Tujuh korban akibat serangan di Wina dalam kondisi kritis dan mengancam nyawa, demikian laporan Kantor Berita APA Austria mengutip juru bicara Asosiasi Kesehatan. Pelakunya dituduh sebagai seorang teroris Islam.

Total 17 korban luka dirawat di sejumlah rumah sakit, terutama akibat luka tembak dan sayatan, kata juru bicara tersebut. Menurut juru bicara Asosiasi Kesehatan Austria, 10 pasien dengan luka ringan masih dalam keadaan syok.

Sementara itu, ORF TV melaporkan bahwa orang keempat yang meninggal dalam serangan tersebut adalah perempuan. Total jumlah korban meninggal menjadi dua perempuan dan dua pria warga sipil, selain penyerang yang ditembak mati oleh petugas. Media Austria lainnya melansir bahwa korban keempat meninggal pada Selasa pagi.

Menteri Dalam Negeri Austria Karl Nehammer menyebut serangan penembakan yang terjadi di Wina dilakukan setidaknya oleh satu teroris Islam. Dia menyerukan agar warga di kota tersebut tetap di rumah.

"Kami mengalami serangan kemarin malam dari setidaknya satu teroris Islam," kata Nehammer dalam sebuah konferensi pers pada Selasa (3/11). Menurutnya serangan itu merupakan upaya untuk melemahkan atau memecah masyarakat demokratis Austria.

Nehammer mengungkapkan terdapat beberapa pelaku yang terlibat dalam aksi penembakan. Satu di antaranya telah ditembak mati oleh polisi. Nehammer mengatakan pelaku tersebut merupakan simpatisan ISIS. Saat melancarkan serangan, dia mengenakan sabuk bahan peledak, tapi ternyata palsu.

Nehammer mengatakan saat ini kepolisian masih memburu para pelaku lainnya. Pada Senin (2/11) malam, sejumlah orang bersenjata menyerang enam lokasi di Wina tengah. Serangan pertama dimulai di luar sinagoge utama. Beberapa saksi mengatakan para pelaku turut menembaki orang-orang di bar dengan senapan otomatis.

Sejauh ini tiga warga sipil telah dilaporkan tewas akibat serangan tersebut, terdiri dari dua pria dan satu wanita. Sementara 15 lainnya mengalami luka-luka, termasuk seorang petugas polisi.

Peristiwa terjadi ketika orang-orang bersenjata menyerang enam lokasi di Wina tengah pada Senin malam (2/11), dimulai di luar bangunan ibadah Yahudi yaitu sinagoga. Para saksi menggambarkan orang-orang itu menembaki kerumunan di bar dengan senapan otomatis, karena banyak orang memanfaatkan malam terakhir sebelum jam malam nasional diberlakukan akibat wabah Covid-19.

Polisi mengkonfirmasi warga sipil tewas dalam serangan itu, dan 15 orang lainnya terluka, termasuk seorang petugas polisi. Polisi menutup sebagian besar pusat bersejarah Wina dalam semalam dan mendesak masyarakat untuk berlindung. Banyak yang mengungsi di bar dan hotel, sementara transportasi umum di seluruh kota tua ditutup dan polisi menjelajahi kota.

Ibu kota Austria sejauh ini terhindar dari jenis serangan militan mematikan yang melanda Paris, London, Berlin, dan Brussel dalam beberapa tahun terakhir.

Oskar Deutsch, kepala komunitas Yahudi Wina, yang memiliki kantor yang berdampingan dengan tempat ibadah di jalan berbatu sempit yang dihiasi dengan bar, mengatakan melalui Twitter bahwa tidak jelas apakah kuil atau kantor menjadi sasaran. Video beredar di media sosial tentang seorang pria bersenjata yang berlari di jalan berbatu dan berteriak. Salah satunya menunjukkan seorang pria menembaki seseorang di luar tempat yang tampak seperti sebuah bar di jalan di mana terdapat sinagoga.

Sejumlah tokoh dunia telah menyatakan simpati dan belasungkawa atas kejadian tersebut. "Doa kami bersama orang-orang Wina setelah aksi terorisme keji lainnya di Eropa. Serangan jahat terhadap orang yang tidak bersalah ini harus dihentikan. AS mendukung Austria, Prancis, dan seluruh Eropa dalam perang melawan teroris, termasuk teroris Islam radikal," kata Presiden AS Donald Trump melalui akun Twitter pribadinya.

Capres AS dari Partai Demokrat Joe Biden turut mengecam serangan di Wina. Dia menyebut peristiwa itu sebagai serangan teroris yang mengerikan. "Kita semua harus bersatu melawan kebencian dan kekerasan," ujarnya.

Presiden Prancis Emmanuel Macron yang negaranya baru-baru ini menghadapi serangan serupa turut menyatakan simpati kepada Austria. "Musuh-musuh kita harus tahu dengan siapa mereka sedang berhadapan. Kita tak akan mundur," ujarnya, dikutip dari Reuters.

Juru bicara Konselir Jerman, Angela Merkel, yaitu Steffen Siebert, berkomentar lewat cicitan Twitter terkait kejadian di Wina. "Teroris Islam adalah musuh bersama kami. Perlawanan terhadap para pembunuh ini dan penghasut mereka adalah perjuangan bersama kita," katanya, dikutip dari AP.

Label Teroris Islam

Ketika insiden pemenggalan kepala guru di Prancis yang memicu pernyataan Emmanuel Macron yang dianggap menghina Nabi Muhammad dan umat Islam muncul, pemerintah Indonesia sudah menyatakan keberatannya terhadap pernyataan Macron yang mengindikasikan ada kaitan antara agama dan tindakan terorisme. “(Tindakan yang) mengaitkan agama apapun, dalam hal ini adalah agama Islam, dengan tindakan terorisme tidakkah bisa dibenarkan dan sungguh menyakitkan bagi pemeluk agama tersebut,” kata Faizasyah menjelaskan sikap Pemerintah Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar dunia.

Mohamad Elmasry seorang Associate Professor Studi Media dan Budaya di Institut Doha untuk Program Pasacasarja pernah menulis sebuah opini dengan "Bagaimana Surat Kabar AS Mengabaikan Muslim Sebagai Korban Terorisme". Dalam tulisannya, Mohamad Elmasry menduga adanya standar ganda dalam peliputan berita terorisme yang dilakukan media AS. Bersama dengan rekannya, Mohammed El-Nawawy, dia mendalami dugaan ketidaksesuaian dalam laporan surat kabar AS tentang korban terorisme Muslim dan non-Muslim.

Bahkan, sebelum melakukan penelitian, dia telah mencari rujukan untuk mendapat data. Sayangnya, dia mengaku, tak menemukan penelitian yang empiris.

"Anehnya, hampir tidak ada penelitian empiris mengenai fenomena ini," kata Mohamad Elmasry dalam tulisannya yang dipublikasikan Middle East Eye bulan Juni tahun ini.

Dalam penelitiannya, dia menelusuri lima serangan teroris besar. Adapun rinciannya, yakni tiga kejadian di Ankara, Turki, dan Maiduguri, Nigeria yang menyasar masyarakat mayoritas Muslim.

Sementara dua lainnya terjadi di kota-kota besar di Barat Yang menyasar mayoritas non-Muslim, di Paris dan Brussels. "Semua terjadi dalam rentang enam bulan di akhir tahun 2015 atau awal 2016," kata dia.

Tiga serangan yang dilakukan di Turki dan Nigeria pada mayoritas Muslim, menghasilkan berita atau artikel yang sangat sedikit dimuat di surat kabar elit AS. Padahal, serangan itu telah mengakibatkan lebih banyak korban.

Sementara, berita yang meliput para korban terorisme non-Muslim di Paris dan Brussels menghasilkan liputan sekitar sembilan kali lipat dibanding artikel yang meliput para korban terorisme Muslim di Ankara dan Maiduguri.

Serangan di Ankara dan Maiduguri telah menelan 222 korban jiwa hanya menghasilkan 72 artikel yang diberitakan surat kabar AS selama lima hari. Sementara, dua serangan di Paris dan Brussels dengan jumlah korban 165 jiwa, menghasilkan 641 artikel selama lima hari.

"Artikel yang meliput korban non-Muslim juga lebih besar (rata-rata), menghasilkan lebih banyak foto, dan lebih mungkin membuat halaman depan surat kabar," kata dia.

Selain itu, surat kabar AS mengemas pemberitaan dengan gaya bahasa yang berbeda tentang serangan maupun korban Muslim dengan non-Muslim. Serangan terhadap masyarakat non-Muslim dibingkai hampir secara eksklusif sebagai tindakan terorisme. Sementara serangan terhadap masyarakat mayoritas Muslim sebagian besar dibingkai sebagai "konflik internal".

"Tak kalah penting, hasil menunjukkan bahwa korban terorisme non-Muslim lebih mungkin untuk dimanusiakan dan dipersonalisasi daripada korban Muslim," jelas dia.

Kelima serangan yang dianalisis mendefinisikan pemahaman secara teks mengenai terorisme. Begitupun yang dialami umat Islam.

Dua realitas dapat mengendalikan potensi yang mengacaukan variabel. Dengan dimasukkan kejadian di Ankara, bagian dari Eropa, membantu mengendalikan kedekatan geografis dengan AS.

Dia menyimpulkan, tak satu pun yang melakukan konspirasi yang terorganisir terhadap Muslim. Sebaliknya, terdapat sejumlah alasan yang membantu menjelaskan mengapa media berita AS lebih cenderung memperhatikan dan memanusiakan orang kulit putih, Kristen, korban tragedi dan bencana di Barat.

Dia menyebut, wartawan media AS seringkali bersikap defensif tentang tuduhan standar ganda dan memberikan sejumlah justifikasi untuk pola liputan. Kendati demikian, Mohamad Elmasry mengaku sikap defensif dapat dimengerti dengan alasan junlah produksi berita maupun masalah lain di luar profesi.

"Tapi paling tidak, organisasi berita AS harus menyadari bahwa ada masalah (yang harus diatasi). Dari sana, kemajuan dapat dibuat," kata dia.

Insiden Prancis

Sebelumnya, seorang pendeta Ortodoks terluka dalam penembakan di kota Lyon, Prancis pada Sabtu (31/10) waktu setempat. Sumber polisi mengatakan kepada wartawan bahwa pelaku penembakan telah melarikan diri dari tempat kejadian.

Kementerian dalam negeri Prancis mengatakan petugas keamanan dan darurat berada di tempat kejadian dan mendesak orang-orang untuk menghindari daerah tersebut. Insiden itu terjadi beberapa hari setelah tiga orang tewas dalam serangan pisau di sebuah gereja di kota Nice, Prancis selatan.

Presiden Macron menyebut pembunuhan itu sebagai serangan teroris Islam dan mengerahkan ribuan tentara tambahan untuk melindungi situs publik, termasuk tempat ibadah.

Penembakan di Lyon terjadi pada Sabtu (31/10) sekitar pukul 16.00 waktu setempat ketika pastor itu menutup gerejanya, kata laporan media. Seorang sumber polisi mengatakan bahwa penyerang dipersenjatai dengan senapan gergaji.

Sebelum insiden di Lyon, terjadi penyerangan di sebuah gereja di kota Nice, Prancis, Kamis (29/10). Pria yang menghunuskan pisau itu menyebabkan tiga orang tewas.

Penyerang tersebut kemudian ditembak oleh polisi. Sumber yang dekat dengan penyelidikan mengatakan, pria itu diidentifikasi bernama Brahim Aouissaoui, seorang migran Tunisia berusia 21 tahun yang tiba di Italia akhir bulan lalu dan kemudian melakukan perjalanan ke Prancis. Brahim dilaporkan menyerang jamaah di dalam Basilika Notre-Dame di jantung kota resor Mediterania tersebut.

Wali Kota Nice, Christian Estrosi, mengatakan kepada wartawan di tempat kejadian, pelaku penyerangan terus mengulang kata Állahu Akbar bahkan ketika tengah diberi pengobatan. Sementara itu, seorang jenazah pria, yang merupakan pegawai gereja berusia sekitar 45 tahun, juga ditemukan di dalam gereja. Sementara seorang wanita lain, ibu berusia 40an, meninggal karena luka-lukanya setelah mencari perlindungan di bar terdekat.

Prancis telah menjadi sasaran kemarahan yang meluas di dunia Islam setelah Macron bertekad untuk melakukan perlawanan terhadap kaum radikal. Macron memang bersikap lebih keras terhadap Islam dan Muslim, terutama setelah pembunuhan seorang guru sejarah pada 16 Oktober 2020 lalu oleh seorang remaja ekstremis karena menunjukkan karikatur Nabi Muhammad kepada murid-muridnya di kelas kebebasan berekspresi.

Setelah insiden itu, sejumlah Muslim yang dianggap radikal ditangkap dalam puluhan penggerebekan di Prancis dan organisasi-organisasi yang diduga terkait juga ditutup. Beberapa pihak mengklaim Macron secara tidak adil telah menargetkan jutaan Muslim di Prancis, yang merupakan negara dengan komunitas Muslim terbesar di Eropa.

photo
Infografis Daftar Negara Bereaksi Keras pada Prancis - (Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement