Rabu 27 May 2020 11:44 WIB

New Normal: Kesehatan dalam Perspektif Islam

'New normal' Islam adalah kehidupan normal yang menghindarkan diri dari kerusakan

Umat muslim menunaikan Shalat Idul Fitri 1441 H di Masjid AL-Mabrur, Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur. 'New normal' Islam adalah kehidupan normal yang menghindarkan diri dari kerusakan
Foto: ANTARA/Zabur Karuru
Umat muslim menunaikan Shalat Idul Fitri 1441 H di Masjid AL-Mabrur, Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur. 'New normal' Islam adalah kehidupan normal yang menghindarkan diri dari kerusakan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amirsyah Tambunan,  Wakil sekjen MUI Pusat dan Sekjen ADI Pusat

Dalam menyikapi istilah New Normal dalam baik dalam teks maupun konteksnya umat Islam harus hati hati, bahkan  harus mempunyai kemampuan ketika akan memahami kata new normal. Umat Islam telah mempunyai tradisi litesi baca al Qur'an beda titik, baris, apalagi beda huruf beda makna.

Tradisi itu telah berlangsung lama sejak abad pertama hingga saat ini 1441 H. Selama satu bulan kita telah melatih membaca, memahami serta mengamalkan al Qur'an. Tradisi ini merupakan keniscayaan bagi umat Islam untuk  lebih hati hati dalam membaca kosa kata atau diksi seperti New Normal. 

Apa itu New Normal? 

Kata new normal, bisa sebaliknya jadi tidak normal, karena fakta empirik masih belum normal, akan tetapi cita cita untuk menuju new normal merupakan keinginan semua manusia di dunia.  

Menuju new normal harus dimulai dari pemahaman yang normal. Ketika melihat situasi objektif seperti saat ini belum normal, masih memerlukan tahapan yang harus terukur,  sehingga kita tidak terjebak dengan diksi yang justru membuat umat bingung.  

Direktur Regional WHO untuk Eropa, Hans Henri P Kluge memberikan Panduan untuk Negara-negara yang akan menerapkan agenda New Normal. Panduan yang diberikan Mr Kluge jika hendak menjalankan kebijakan New Normal dengan meringankan pembatasan dan transmisi harus terlebih dahulu memastikan:

Pertama,  transmissi Covid-19 sudah terkendali, sehingga angka terinfeksi semakin menurun. Menurut saya jika transmisi belum terkendali,  maka new normal belum dapat dilakukan. 

Kedua, kapasitas sistem kesehatan sudah mampu  mengidentifikasi dan melakukan Test, Trace dan Treat. 

Ketiga, mengurangi risiko wabah dengan pengaturan yang ketat pada tempat rentan dan komunitas rentan seperti lansia, kesehatan mental dan pemukiman padat. 

Keempat, pencegahan di tempat kerja dengan menerakan protokol medis yg ketat. 

Kelima,  risiko imported case sudah dapat dikendalikan oleh semua pemangku kepentingan. 

Keenam, masyarakat  mempunyai kesadaran kolektif untuk ikut berperan dan terlibat terutama melaksakan protokol medis.

Normal dalam Islam

Dalam konteks itu menurut saya New normal harus di mulai dari kehidupan normal, tidak bisa dimulai dari kehidupan yang belum normal saat ini. Kehidupan normal dalam Islam terhindar dari situasi darurat. Dalam qidah fiqih menghindarkan kerusakan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntungan/kebaikan (dar’ul mafâsid muqoddam ‘alâ jalbil masholih). Artinya konsep mencegah harus menyeluruh dalam semua aspek.  

Untuk itu dalam aspek ajaran Islam  menekankan kepada pencegahan melalui konsep bersuci (taharah). Bersuci (bahasa Arab: الطهارة, translit. al-ṭahārah‎) merupakan bagian dari prosesi ibadah umat Islam yang bermakna menyucikan diri yang mencakup secara lahir atau batin, sedangkan menyucikan diri secara batin saja diistilahkan sebagai tazkiyatun nufus.

Kedudukan bersuci dalam hukum Islam hukumnya wajib,  terutama karena di antara syarat-syarat salat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan shalat diwajibkan suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian, dan tempatnya dari najis. Firman Allah:

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri (Al Baqarah 2:222). Dalam kaitan itu bagi umat Islam tradisi bersuci, bersih lahir batin merupakan awal seseorang menuju kehidupan yang normal 

(new normal) karena telah baligh dan berakal. Awal mulainya seseorang mempunyai kewajiban menjalankan syariat Islam untuk mewujudkan maqasit syariah dalam bentuk hal pertama, yaitu memelihara agama (hifdzud diin) yakni umat Islam berkewajiban menjaga agamanya dengan baik yakni menjaga rukun Islam yang lima mulai dari syahadat, menjalankan shalat lima waktu, membayar zakat, menjalankan ibadah puasa, dan melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu.

Kedua, yaitu memelihara jiwa (hifdzun nafs). Umat Islam berkewajiban untuk menjaga diri sendiri dan orang lain. Sehingga tidak saling melukai atau melakukan pembunuhan antar sesama manusia. Intinya, jiwa manusia harus selalu dihormati. Manusia diharapkan saling menyayangi dan berbagi kasih sayang dalam bingkai ajaran agama Islam serta yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Ketiga, memelihara keturunan atau hifdzun nasl. “Umat Islam berkewajiban untuk menjaga keturunan yang jelas nasabnya. Oleh karena itu Islam mengharamkan adanya praktek perzinahan.

Keempat,  memelihara harta atau hifdzul maal. Umat Islam diharuskan untuk memelihara hartanya melalui kasab atau usaha yang halal. Sehingga harta yang diperolehnya menjadi berkah dalam kehidupannya dan mendapat ridho dari Allah SWT.

Kelima, yakni memelihara akal atau hifdzul aql. Umat Islam diharuskan menjaga akal yang sehat dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga umat Islam diwajibkan untuk mencari ilmu dan pengetahuan untuk mendapatkan wawasan yang cukup sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan dan terhindar dari godaan dunia. Islam mengatur tata kehidupan manusia normal untuk mendapatkan kebahagian baik hidup di dunia maupun akhirat nanti. 

Sehingga umat muslim akan terdorong untuk selalu melaksanakan tindakan yang normal dan bermanfaat bagi orang lain. Perbuatan  yang normal  menjadi awal bangkitnya sebuah masyarakat dan bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement